Aktualisasi Diri Tanpa Akademik: Dilema Mahasiswa Organisatoris Masa Kini

Opini : Nur Laela, Guru Besar Fakultas Agama Islam / Ketua Program Study Doktor Manajemen Pendidikan Islam PPS UMI Makassar. Dilaporkan Reporter M. Yahya Patta

Aktualisasi Diri Tanpa Akademik: Dilema Mahasiswa Organisatoris Masa Kini
Prof. Dr. Hj Nurlaela M. Hum

Spektroom - Di tengah dinamika kehidupan kampus, peran mahasiswa pengurus lembaga seperti BEM, DPM, UKM, maupun organisasi intra lainnya, menjadi penting dalam menciptakan ekosistem kampus yang aktif dan dinamis. Mereka adalah agen perubahan yang tidak hanya diharapkan aktif dalam kegiatan sosial-politik kampus, tetapi juga menjadi contoh dalam pencapaian akademik. Namun realitasnya, saat ini muncul kecenderungan yang mengkhawatirkan: semangat belajar dari aspek akademik pada mahasiswa pengurus lembaga seolah menurun drastis. Fokus mereka lebih tersedot pada pengembangan diri melalui orasi, aktualisasi, dan mobilisasi kegiatan, namun sering kali tanpa standar etika, apalagi semangat kompetitif yang sehat.

Mahasiswa identik dengan semangat perubahan dan idealisme. Dalam konteks kehidupan kampus, semangat tersebut biasanya ter fasilitasi melalui kegiatan organisasi kemahasiswaan, baik yang bersifat intra maupun ekstra kampus. Organisasi menjadi ruang penting untuk mengasah kemampuan berbicara, kepemimpinan, advokasi, hingga manajemen konflik. Namun, dewasa ini, muncul sebuah dilema serius yang melanda sebagian mahasiswa organisatoris, yakni aktualisasi diri yang tidak diimbangi dengan pencapaian akademik yang memadai.

Banyak mahasiswa yang menjabat sebagai pengurus organisasi terlihat begitu aktif, vokal, dan energik dalam berbagai kegiatan. Namun di balik itu, komitmen terhadap kewajiban utama sebagai mahasiswa—yakni belajar—sering kali terabaikan. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah pengembangan diri dalam organisasi memang harus menegasikan aspek akademik? Ataukah ini merupakan gejala dari ketidakseimbangan sistem dan nilai yang berkembang dalam budaya kampus kita saat ini?

Fenomena Mahasiswa Organisatoris: antara idealisme dan Tanggung Jawab

Secara kasat mata, mahasiswa pengurus organisasi menunjukkan keaktifan luar biasa. Mereka terbiasa menghadiri rapat sampai malam, mengatur acara, turun aksi ke jalan, membuat pernyataan sikap, dan bahkan menjadi juru bicara mahasiswa. Di satu sisi, ini menunjukkan bahwa mereka berani tampil dan percaya diri. Akan tetapi, jika dilihat dari sisi akademik, banyak dari mereka tertinggal dalam perkuliahan, lalai mengerjakan tugas, dan bahkan terancam DO karena IPK rendah.

Dilema ini muncul karena adanya kecenderungan memisahkan antara dunia akademik dan dunia organisasi, padahal keduanya semestinya berjalan paralel dan saling mendukung. Organisasi seyogianya menjadi pelengkap proses pendidikan formal, bukan menjadi pengalih perhatian atau pelarian dari tanggung jawab akademik.

Faktor Penyebab Ketimpangan Akademik

-Pemahaman yang keliru tentang aktualisasi diri. Banyak mahasiswa menganggap bahwa keberanian tampil di depan publik, memimpin massa, atau menyampaikan orasi adalah puncak dari aktualisasi diri. Sementara kemampuan berpikir kritis, menulis ilmiah, dan mendalami teori di dalam kuliah dianggap tidak cukup “keren” atau tidak “relevan” dengan perjuangan.

-Budaya organisasi yang minim intelektualitas. Tidak semua organisasi mahasiswa memiliki budaya intelektual yang kuat. Diskusi sering kali bersifat normatif dan dangkal, lebih banyak slogan ketimbang argumentasi yang berbasis data. Ketika budaya berpikir mendalam tidak ditekankan, maka organisasi pun tidak menumbuhkan semangat belajar.

-Tidak adanya system kontrol akademik dalam organisasi. Lembaga kemahasiswaan umumnya tidak memiliki mekanisme evaluasi akademik internal. Seorang pengurus bisa terus menjabat tanpa mempertimbangkan performa akademiknya. Akibatnya, tanggung jawab sebagai mahasiswa tidak lagi menjadi prioritas.

-Kurangnya pendampingan dan role model. Dosen pembina dan alumni sering kali tidak aktif dalam membina organisasi. Mahasiswa dibiarkan berkembang sendiri, sehingga banyak yang salah arah atau kehilangan orientasi.

 

Dampak Jangka Panjang

Dilema ini tidak bisa dianggap remeh. Ketika mahasiswa organisatoris kehilangan fondasi akademik yang kuat, maka mereka berisiko menjadi aktivis tanpa kompetensi. Dalam jangka panjang, mereka bisa kesulitan bersaing di dunia kerja, kurang produktif dalam dunia profesional, dan sulit menyesuaikan diri dalam lingkungan akademis yang lebih tinggi. Bahkan dalam organisasi sendiri, ketika tidak ditopang oleh intelektualitas, mereka cenderung pragmatis dan kehilangan arah gerakan.

Solusi dan Strategi Kampus dalam Menyeimbangkan Organisasi dan Akademik

Pihak kampus, khususnya bagian kemahasiswaan dan dosen pembina, perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk mengatasi dilema ini. Solusi agar pengembangan diri dan prestasi akademik berjalan seimbang, perlu menyusun:

Integrasi Pembinaan Akademik di dalam Organisasi

Kampus harus mendorong setiap organisasi mahasiswa untuk memiliki program internal yang mengembangkan kapasitas akademik pengurusnya. Misalnya: kelas menulis ilmiah, forum diskusi buku, pelatihan riset dasar, atau mentoring dengan dosen.

Persyaratan Akademik untuk Jabatan Organisasi

Diberlakukan standar minimal IPK untuk menjabat posisi penting di organisasi. Misalnya: Ketua BEM atau Ketua UKM harus memiliki IPK minimal 3.00 dan bebas dari mata kuliah bermasalah. Ini akan menumbuhkan kesadaran bahwa prestasi akademik adalah bagian dari integritas kepemimpinan.

Pelatihan Etika dan Kepemimpinan Berbasis Nilai Akademik

Kampus bisa menyelenggarakan pelatihan rutin yang tidak hanya fokus pada kemampuan manajerial, tetapi juga penguatan nilai: integritas, tanggung jawab akademik, dan etika dalam berorganisasi.

Revitalisasi Peran Pembina Organisasi

Dosen pembina harus lebih aktif mendampingi organisasi mahasiswa, tidak hanya dalam bentuk tanda tangan proposal, tetapi juga menjadi mentor yang mengarahkan secara intelektual dan moral.

Pemberian Insentif untuk Mahasiswa yang Berprestasi Ganda

Kampus dapat memberikan penghargaan khusus untuk mahasiswa yang berhasil menyeimbangkan peran akademik dan organisasi. Misalnya: Beasiswa Aktivis Intelektual, Sertifikat Mahasiswa Paripurna, dan akses istimewa ke program pengembangan profesional.

Aktualisasi diri melalui organisasi adalah hak sekaligus peluang emas bagi mahasiswa. Namun, ketika aktualisasi itu terjadi tanpa dasar akademik yang kuat, maka ia akan kehilangan makna substansialnya. Mahasiswa bukan hanya dituntut aktif secara sosial, tetapi juga harus unggul secara intelektual dan etis. Dilema ini bukan semata kesalahan individu mahasiswa, tetapi juga refleksi dari sistem pembinaan kampus yang belum menyeluruh.

Sudah waktunya kampus mengambil peran lebih aktif dalam menciptakan kultur organisasi yang sehat, kompetitif, dan berpijak pada nilai akademik. Mahasiswa organisatoris harus menjadi garda depan dalam menciptakan perubahan—bukan hanya di jalanan atau ruang rapat, tapi juga di ruang-ruang belajar dan diskusi ilmiah.

Berita terkait

Sekda Wakili Gubernur Paparkan Materi Strategi Penanganan Konflik Sosial dan Potensi Sosial di Provinsi Maluku

Sekda Wakili Gubernur Paparkan Materi Strategi Penanganan Konflik Sosial dan Potensi Sosial di Provinsi Maluku

Spektroom,- Sekretaris Daerah Maluku, Ir. Sadali IE, M.Si mewakili Gubernur Maluku Hendrik Lewerissa memberikan materi Strategi Penanganan Konflik Sosial dan Potensi Konflik Sosial di Provinsi Maluku pada Rapat Koordinasi Analisis Permasalahan Bidang Penanganan dan Kontijensi Konflik Sosial di Provinsi Maluku dan Maluku Utara bertempat di Swisbell Hotel, Rabu

Yantje Lekatompessy