"Bendera One Piece: Simbol Krisis Identitas atau Ekspresi Budaya Global?"

Spektroom - Awal bulan perayaan Hari Kemerdekaan tahun ini sudah dimulai dengan kegaduhan. Bukan Sound Horeg, tapi pemasangan bendera One Piece. Tidak hanya ide gerakan kolektif pemasangannya, namun respon para pejabat meramaikan fenomena ini mulai dari pernyataan hingga ancaman pidana.
Fenomena ini bukan sekadar soal kritik terhadap pemerintah dengan balutan fandom atau kecintaan terhadap anime. Fenomena ini mencerminkan dimensi lain di dalam masyarakat Indonesia, terutama jika dilihat dari perspektif hubungan internasional, globalisasi budaya, dan krisis identitas nasional.
Budaya Pop sebagai Soft Power
Serial One Piece, seperti halnya banyak produk budaya Jepang lainnya, merupakan bagian dari strategi soft power Jepang sejak era 1990-an. Melalui anime, manga, J-Pop, hingga gaya hidup Harajuku, Jepang berhasil membangun daya tarik budaya ke berbagai negara, termasuk Indonesia.
Dalam perspektif hubungan internasional disebut sebagai “cultural diplomacy” atau diplomasi budaya. Ini adalah cara negara mempengaruhi masyarakat global dengan cara-cara nirmiliter. Joseph Nye menyebutnya sebagai “soft power” yaitu kemampuan membujuk tanpa paksaan.
Berkibarnya bendera One Piece di momen nasional, harusnya membuat kita semakin tersadar betapa kuatnya penetrasi budaya asing dalam membentuk persepsi, identitas, bahkan imajinasi politik generasi muda Indonesia. Bukan kemudian menciptakan perpecahan, ketakutan dan ancaman terstruktur mulai dari DPR sampai tingkat RT.
Bendera One Piece sebaiknya tidak diterjemahkan sebagai upaya menolak nasionalisme. Sebaliknya, bisa dimaknai sebagai cara baru generasi muda mengekspresikan jati diri mereka karena lahir dan tumbuh tanpa batas identitas tunggal, melainkan masuk dalam jaringan identitas global.
Mereka tidak sedang mengkhianati Merah Putih, melainkan menambahkan lapisan identitas baru di tengah realitas persimpangan nasionalisme dan globalisme. Mereka sedang mengekspresikan kegelisahan atas tekanan dan ketidakadilan yang ada di masyarakat, serta tumbuhnya pesimisme terhadap masa depan bangsa.
Sisi lainnya, fenomena ini juga mengungkap adanya krisis narasi nasional. Jika simbol anime bisa lebih menginspirasi dibanding tokoh-tokoh perjuangan Indonesia, maka sebaiknya perlu kita tanyakan: cerita dan sosok kepahlawanan apa yang gagal diwariskan? Apakah karakter Mobile Legend seperti Balmond, Hayabusa, Kagura atau Alpha yang dianggap sebagai hero mereka? Atau Monkey D. Luffy, Roronoa Zoro, Nami, Sanji dan Usopp?
One Piece dalam Bingkai Kemerdekaan
Gambaran World Government dalam One Piece sebagai aliansi yang otoriter, korup dan manipulatif seharusnya menjadi cerminan bagi pemerintah untuk merefleksi keadaan bukan melahirkan ancaman. Padahal, World Government dalam bingkai kemerdekaan dapat digambarkan sebagai penjajah yang pernah menyiksa Indonesia. Jika seperti itu maka Luffy dan kru, tidak bedanya seperti Pengeran Diponegoro atau Tan Malaka yang memiliki semangat perjuangan terhadap ketidakadilan sistem yang dibangun penjajah dahulu.
Kesempatan ini harusnya menjadi titik awal bagi pemerintah untuk mendesain ulang narasi kebangsaan kepada generasi muda dengan cara yang lebih segar, kekinian dan kesadaran penuh tentang kondisi global. Bukan menyebar ketakutan berlebih terhadap tengkorak bajak laut bertopi jerami yang sedang tersenyum sebagai simbol tekad mengejar impian.
Penulis : Irmawan Effendi, Dosen Ilmu Hubungan Internasional, IISIP Jakarta