Bising dan Mengganggu, Sirene dan Rotator Sering Ditolak Masyarakat

Bising dan Mengganggu, Sirene dan Rotator Sering Ditolak Masyarakat
Kendaraan menggunakan sirene dan rotator. (Foto: Ciptati Handayani dari Meta AI)

Spektroom - Sirene dan rotator, yang dikenal sebagai strobo, adalah alat yang dirancang untuk memberikan peringatan darurat.

Namun, menurut Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Djoko Setijowarno, penggunaan yang tidak tepat seringkali membuat masyarakat menolaknya, karena kebisingan di jalanan cukup mengganggu.

“Jelas masyarakat menolak, karena sudah cukup gerah dengan kebisingan di jalanan,” ungkap Djoko kepada Spektroom, Senin (22/09/2025).

Disebutkan, adanya kendaraan pribadi atau pejabat yang bukan dalam keadaan darurat menggunakan strobo untuk menerobos kemacetan, menimbulkan persepsi bahwa strobo adalah simbol hak istimewa dan bukan alat untuk keselamatan publik. Penggunaan yang tidak pada tempatnya ini menciptakan rasa tidak adil dan memicu kemarahan.

Selain itu suara sirene yang nyaring dapat sangat mengganggu, terutama di lingkungan padat penduduk atau di tengah malam. Bahkan ketidak nyamanan ini juga dapat menimbulkan stress dan memicu kecemasan.

“Orang tua, orang sakit, atau mereka yang ingin beristirahat sering merasa terganggu oleh kebisingan yang berlebihan,” katanya.

Regulasi yang kurang tegas

Menurut Djoko Setijowarno yang juga Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata, meski sudah ada aturan yang mengatur siapa saja yang berhak menggunakan sirene dan strobo (seperti mobil ambulans, pemadam kebakaran, dan polisi), penegakan hukumnya sering kali dianggap lemah.

Ketidaktegasan ini membuat banyak orang berani menggunakannya tanpa izin, memperburuk masalah penyalahgunaan.

Dijelaskan pula, ketika sirene dan strobo digunakan secara sembarangan, kepercayaan masyarakat terhadap sistem darurat bisa menurun. Saat mendengar sirene, masyarakat tidak lagi yakin apakah itu benar-benar situasi darurat atau hanya kendaraan yang ingin mencari jalan pintas.

“Nah, akibatnya, ketika ada situasi darurat yang nyata, respons masyarakat untuk memberikan jalan mungkin tidak secepat atau setanggap seharusnya,” tandas Djoko.

Pengguna jalan yang memperoleh hak utama telah diatur dalam Pasal 134 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk didahulukan, yaitu :

  1. Kendaraan pemadam kebakaran yang sedang melaksanakan tugas.
  2. Ambulans yang mengangkut orang sakit.
  3. Kendaraan untuk memberikan pertolongan pada kecelakaan lalu lintas.
  4. Kendaraan pimpinan Lembaga Negara Republik Indonesia.
  5. Kendaraan pimpinan dan pejabat negara asing serta lembaga internasional yang menjadi tamu negara.
  6. Iring-iringan pengantar jenazah dan konvoi dan/atau kendaraan untuk kepentingan tertentu menurut pertimbangan petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Djoko juga memberikan apresiasi terhadap langkah Kepala Korps Lalu Lintas (Kakorlantas) Polri Irjen Pol. Agus Suryonugroho untuk menertibkan penggunaan sirene dan rotator di jalan raya.

“Kebijakan yang bersifat sementara ini merupakan langkah awal yang baik untuk mengembalikan aturan yang berlaku. Sebagian besar masyarakat setuju bahwa penertiban ini tidak seharusnya hanya sementara. Penggunaan sirene dan rotator di luar peruntukannya sudah menjadi masalah kronis yang memicu ketidakadilan dan kekacauan di jalan,” pungkasnya.

Berita terkait