Desa Curah Cottok Situbondo Sulap Bukit Gersang Jadi Kebun Tanaman Ekspor

Desa Curah Cottok Situbondo Sulap Bukit Gersang Jadi Kebun Tanaman Ekspor
Tanaman okra menjadi andalan warga desa Curah Cottok, Kecamatan Kapongan, Kabupaten Situbondo, sebagai tanaman ekspor (foto : diskominfo Situbondo)

Spektroom – Lahan kering dan tandus yang dulu dipandang tidak produktif kini disulap menjadi kebun okra, yakni sayuran khas Afrika yang semakin diminati pasar internasional. Inovasi ini tidak hanya mengubah wajah desa Curah Cottok, Kecamatan Kapongan, Kabupaten Situbondo, tetapi juga membuka peluang ekonomi baru bagi warganya.

Kepala Desa Curah Cottok, H. Muh. Samsuri Abbas, mengatakan gagasan budidaya okra berawal dari tekad untuk memanfaatkan lahan gersang yang selama ini terbengkalai. Menurutnya, jika lahan kering bisa diolah dengan baik, maka hasilnya dapat menjadi sumber penghasilan yang berkelanjutan.

“Kami mencoba menanam okra di lahan seluas 0,8 hektare. Alhamdulillah, hasilnya bagus. Tanaman ini cocok sekali untuk lahan kering seperti di sini,” ujarnya kepada wartawan, Senin (1/9/2025), dilansir dari Diskominfo Situbondo.

Okra, atau dikenal juga dengan sebutan lady’s finger, merupakan tanaman asal Afrika yang saat ini tengah naik daun di pasar global, terutama Jepang, Korea, dan Timur Tengah. Keunggulan tanaman ini terletak pada siklus panennya yang singkat. Dalam waktu hanya 45 hari sejak ditanam, okra sudah bisa dipetik, bahkan setiap hari sepanjang masa produksi.

Melihat potensi itu, Desa Curah Cottok kemudian menjalin kerja sama resmi dengan sebuah perusahaan eksportir di Jember. Perusahaan ini siap menampung hasil panen sesuai kontrak tertulis, sehingga petani tidak perlu khawatir soal pemasaran. Harga jualnya pun cukup menarik: grade A (panjang 5–10 cm) dihargai Rp 6.500/kg, sedangkan grade B (lebih dari 10 cm) Rp 3.000/kg.

Saat ini, jumlah panen harian memang masih terbatas, sekitar 1 kuintal per hari. Meski begitu, hasil tersebut tetap diserap penuh oleh pihak eksportir.

Samsuri menegaskan, panen okra harus dilakukan setiap hari agar kualitas tetap terjaga. Jika buah dibiarkan terlalu lama, ukurannya akan membesar dan turun grade.

“Panen harian ini sekaligus membuka lapangan kerja baru. Setiap hari dibutuhkan tenaga untuk memetik, sehingga warga sekitar bisa ikut terlibat,” jelas Samsuri.

Keberhasilan uji coba awal membuat pihak desa semakin percaya diri. Rencana besar pun sudah disiapkan, yaitu memperluas area tanam hingga 18 hektare. Untuk mendukung irigasi, desa mulai menguji penggunaan metode biolistrik untuk pengeboran air di beberapa titik lokasi. Dengan begitu, lahan kering bisa tetap mendapatkan pasokan air yang cukup.

“Kami ingin bukit tandus di Curah Cottok ini bisa menghijau. Jika program ini berhasil, akan tercipta sumber ekonomi baru bagi masyarakat kami,” tambahnya.

Secara geografis, Situbondo memang cocok untuk budidaya okra. Tanaman ini tahan panas, tidak membutuhkan perawatan intensif, dan relatif mudah tumbuh.

Dari studi internal yang dilakukan desa, potensi hasil panen okra per hektare bisa mencapai 15 ton. Jika dijual dengan harga Rp 6.500/kg, maka nilai ekonominya bisa menembus lebih dari Rp 97 juta per bulan.

Nilai tambah lain, okra dikenal memiliki khasiat kesehatan. Sayuran ini kaya serat dan dipercaya baik untuk penderita diabetes. Tak heran, permintaan terhadap okra terus meningkat, baik di pasar lokal yang mulai menjualnya di swalayan besar, maupun di pasar ekspor yang lebih luas.

Keunggulan lainnya, okra bisa dibudidayakan secara fleksibel. Tanaman ini dapat tumbuh di dataran rendah maupun tinggi, di lahan luas, bahkan di pot kecil untuk skala rumah tangga. Fleksibilitas ini semakin memperkuat daya tariknya sebagai komoditas unggulan baru.

Samsuri pun menutup pernyataannya dengan penuh optimisme. “Lahan kami dulu tandus, sekarang mulai menghijau. Kami ingin buktikan bahwa desa juga bisa berinovasi. Hasilnya nyata, dan semoga ini menjadi inspirasi bagi desa-desa lain,” pungkasnya. (Diskominfo Situbondo/Yul)