Feature : Ketika Doa Tahlil Terputus oleh Gemuruh dari Bukit Cibeunying

Feature : Ketika Doa Tahlil Terputus oleh Gemuruh dari Bukit Cibeunying
Tim SAR gabungan dan relawan bekerja ikhlas mencari korban yang tertimbun tanah longsor di Desa Cibeunying, Kecamatan Majenang, Kabupaten Cilacap,(Foto : Dok.Basarnas Cilacap).

Spektroom — Hujan tak lagi sekadar rintik yang menyejukkan. Dalam beberapa pekan terakhir, langit Jawa Tengah seperti tidak memberi jeda. Awan pekat menggantung, menumpahkan hujan yang turun nyaris tanpa henti. Di sebagian wilayah, air berubah menjadi banjir; di wilayah lain, tanah yang jenuh berubah menjadi bencana.

Di Desa Cibeunying, Kecamatan Majenang, Kabupaten Cilacap, hujan itu akhirnya datang dalam bentuk yang paling ditakuti: tanah longsor.

Malam yang Seharusnya Tenang

Kamis malam, 13 November 2025. Jam dinding baru saja melewati pukul 19.00 WIB. Suara hujan masih deras mengetuk genting rumah-rumah warga Cibeunying. Usai membaca doa Tahlilan dan Yasinan—tradisi rutin warga setiap malam Jumat—penduduk mulai kembali ke rumah masing-masing.

Salah satunya Daryana, yang malam itu pulang bersama dua kerabatnya. Ketenangan selepas doa tiba-tiba terputus oleh suara yang tak pernah mereka bayangkan akan datang.

“Tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari arah bukit. Saya dan dua keluarga langsung lari keluar menyelamatkan diri, walau sempat terluka kecil,” tutur Daryana dengan mata yang masih menyimpan keterkejutan.

Ia tidak sempat memikirkan harta benda. Mereka berlari meninggalkan rumah yang telah menemani hidup bertahun-tahun. Di belakang mereka, sebagian bukit runtuh—mengubur apa pun yang ada di bawahnya.

Daryana masih termasuk beruntung. Dua puluh tiga tetangganya tidak sempat keluar. Mereka tertimbun longsor yang meluncur dari bukit di belakang permukiman.

Bentang Longsor yang Menghentak

Menurut Kapuskodal BPBD Cilacap, Gatot Arief Widodo, skala longsor yang terjadi sangat besar. Material tanah mengalir sejauh 1,4 kilometer dengan lebar sekitar 600 meter. Ketebalannya mencapai 3 hingga 8 meter, membentuk undakan yang membuat pencarian makin sulit.

Longsoran yang luas, dalam dan berundak menjadi tantangan tim SAR gabungan untuk bisa segera menemukan korban dalam keadaan apapun. (Foto : Dok.Bassrnas Cilacap)

“Saat ditemukan, korban berada di bawah material longsoran yang sudah mengeras dan tidak berlumpur, sehingga menyulitkan pencarian manual,” jelas Gatot.

Tantangan terbesar bukan hanya kerasnya material, tetapi juga luasnya area yang harus disisir.

Ancaman dari Puncak Mahkota

Bahaya rupanya belum selesai. Taryo, Kepala BPBD Cilacap, menjelaskan bahwa kondisi di atas tebing masih mengkhawatirkan.

“Di puncak Mahkota terdapat retakan tanah yang cukup panjang. Dengan curah hujan yang masih tinggi, potensi longsor susulan sangat mungkin terjadi,” ujar Taryo.

Untuk itu, posko evakuasi menempatkan personel khusus di area puncak guna memantau setiap pergerakan tanah. Mereka menjadi mata tim penyelamat.

“Jika ada tanda-tanda pergerakan, petugas segera memberi sinyal ke posko agar tim evakuasi menepi mencari tempat aman,” tambahnya.

Langkah ini menjadi vital karena para relawan bekerja di wilayah yang sewaktu-waktu dapat kembali runtuh.

Perlombaan dengan Waktu

Upaya pencarian terus berlangsung sejak malam kejadian. Pada hari ketiga, Sabtu (15/11/2025), sekitar 883 personel dari tim SAR gabungan dan relawan dikerahkan. Dua belas alat berat turun membantu mengangkat material keras yang menumpuk.

Hasilnya, delapan korban berhasil ditemukan, sehingga total 11 korban telah berhasil dievakuasi dan diidentifikasi.

Awan hitam membayangi upaya pencarian, untuk segera menemukan seluruh korban. (Foto ,: Dok.Bsssrnas.Cilacap).

Pencarian akan dilanjutkan pada Minggu (16/11/2025). Meski medan berat, harapan masih dipegang erat. Kali ini, 800 personel dan 17 alat berat dijadwalkan melanjutkan upaya penyisiran.

Di tengah hujan yang belum berhenti, mereka bekerja melawan waktu, melawan ketidakpastian, dan melawan ancaman longsor susulan.

Di Balik Angka, Ada Luka

Cibeunying kini tidak lagi sama. Suara tahlil dan yasinan yang biasanya meneduhkan, pada malam itu terputus oleh gemuruh yang merenggut nyawa. Angka-angka korban adalah potret duka yang tak mudah terhapus.

Namun dari balik reruntuhan, muncul juga kisah keteguhan: warga yang saling menguatkan, relawan yang tak kenal lelah, dan harapan bahwa mereka yang belum ditemukan dapat segera kembali ke pelukan keluarga.//

Penulis: Biantoro

Berita terkait