GATI, Upaya Hindari Fatherless

GATI, Upaya Hindari Fatherless
Asrul M. Mustaqim (Dosen Pasca Sarjana IISIP Jakarta)

Spektroom – Menteri Pendidikan boleh gonta-ganti. Tapi soal anak yang mesti diantar ketika hari pertama sekolah, tampaknya bisa jadi pemicu gerakan ayah teladan Indonesi (GATI). Momen ayah antar anak di hari pertama sekolah, tahun 2025, terjadi pada 14 Juli lalu. Dari foto dokumentasi yang beredar, tampaknya banyak ayah yang melakukan kegiatan antar anak itu. Apalagi para ayah yang ASN, karena ada tugas untuk mengisi absen.

Antar anak memang upaya awal menghindari fatherless, kondisi di mana anak kehilangan sosok ayah baik secara fisik ataupun psikologis. Dan, bentuk sosialisasi penghindaran dengan memaksa ASN bisa jadi akan membentuk kesadaran dan kebiasaan baru sang ayah untuk perduli pada anaknya. Kondisi fatherless di Indonesia tergambar seperti berikut ini: banyak anak di Indonesia yang justru tumbuh tanpa kehadiran ayah (fatherless). Dengan 20,9% anak tidak memiliki figur ayah menurut data UNICEF 2021 dan hanya 37,17% anak usia 0-5 tahun yang diasuh oleh kedua orang tua menurut BPS 2021. (sumber detik.com).

Ketiadaan sosok ayah – baik fisik atau psikologis – bisa karena berbagai sebab seperti ditolak orang tua, broken home, kematian ditinggal jauh oleh ayah (Fajriyanti, Saputri, dan Sujarwo, 2024). Fajrianti dkk, yang mengutip Saif (2018:08) menyebutkan bahwa Indonesia menempati urutan ke-3 fatherless country dalam pengasuhan anak.Tidak adanya peran ayah karenaia hanya hadir secara fisik dan tidak terlibat dalam masalah tumbuh kembang anak. Indikasi tersebut didasarkan pada jumlah waktu yang dihabiskan ayah untuk berkomunikasi dengan anak-anak mereka. Semakin sedikit waktu untuk berkomunikasi dengan anak, maka semakin kuat negeri tersebut disebut sebagai fatherless country.

Interaksi antara ayah dengan anak memang secara minimal adalah jalinan komunikasi ayah-anak. Kuantitas dan kualitas hubungan ayah-anak akan menentukan tumbuh kembang anak, dan kondisi psikologis anak di kemudian hari.

Simpulan dari Fajrianti dkk (2024) menyatakan bahwa ketiadaan peran ayah secara fisik yang disebabkan karena kematian, mengarah pada anak yatim, namun apabila ketidakhadirannya disebabkan oleh karena kepergian dari perannya sebagai seorang ayah, maka anak tersebut dapat dikatakan seolah-olah menjadi yatim sebelum waktunya. Seorang anak tidak dapat sepenuhnya menyadari bahwa dia sedang mengalami situasi tanpa ayah sampai dia merasakan pengaruh situasi tersebut pada dirinya sendiri. Dampak yang dapat dirasakan anak saat tidak hadirnya ayah dalam kehidupannya adalah krisis identitas dan perkembangan seksual anak, dan gangguan psikologis pada anak di masa dewasa.

Dampak yang bisa muncul karena fatherless antara lain: a) anak menjadi minder, ketika dia membandingkan dengan kelurga yang utuh karena hadir ayah-bundanya. b) anak memiliki kecenderungan kekanak-kanakan karena pertumbuhan psikologis yang lambat, c) anak cenderung lari dari masalah dan emosional, d) anak menjadi peragu dan sulit mengambil keputusan (Munjiat, 2017). Berbagai dampak ini kiranya bisa menjelaskan betapa kekosongan sosok ayah bagi anak bisa memunculkan masalah juga secara sosial.

Di tengah upaya menuju Indonesia Emas pada 2045, belum terlambat jika kepada anak sebagai generasi penerus disediakan makanan bergizi, dan pendidikan yang merata kepada mereka melalui program Sekolah Rakyat bagi mereka yang miskin ekstrem. Satu lagi yang tidak kalah penting adalah membangun keluarga yang paripurna dimana dalam keluarga itu hadir ayah dan ibu secara lengkap. Ayah tak hanya menyiapkan materi yang dibutuhkan untuk kehidupan keluarga, tapi ayah juga hadir membersamai anak-anaknya dalam proses tumbuh kembang fisik dan psikologisnya.

Bonus demografi karena proporsi generasi muda yang produktif, benar-benar menjadi kenyataan bukan menjadi beban karena kondisi psikologis yang tumbuh sejak masa kanak-kanak. Perilaku menyimpang / kenakalan anak tak bisa dipungkiri berawal dari interaksi di dalam rumah tangga, bukan faktor lingkungan yang begitu berpengaruh pada anak saat bergaul dengan sebaya.Kita jadi ingat pesan Tuhan : jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka. Di dunia ini, sekarang, bahkan surga akan sudah terasa karena anak-anak tumbuh di keluarga harmonis di mana ayah ikut hadir fisik dan psikologis.

Semoga ini bikin kita sadar dan mengerti betapa Gerakan Ayah Teladan Indonesia, yang diinisiasi oleh Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga itu perlu jadi budaya keluarga.

Penulis: Asrul M. Mustaqim (Dosen Pasca Sarjana IISIP Jakarta)

Berita terkait

OTT Noel : Menaker Yassierli Hormati Proses Hukum di KPK, Ini Pukulan Berat bagi Kami

OTT Noel : Menaker Yassierli Hormati Proses Hukum di KPK, Ini Pukulan Berat bagi Kami

Spektroom - Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli menyatakan penangkapan terhadap Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer atau Noel merupakan pukulan berat bagi lembaga yang belum ada setahun dipimpinnya. Hal itu dikemukakan Yassierli di Jakarta, menanggapi operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Wamenaker Immanuel Ebenezer, terkait dugaan pemerasan pengurusan

Heriyoko