Indonesia Pantas Pimpin Pasar Karbon Dunia termasuk Karbon Biru
Sains dari Medan Merdeka
Spektroom – Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dan punya garis pantai terpanjang kedua setelah Kanada, Indonesia kaya ekosistem pesisir, seperti hutan mangrove dan padang lamun. Ekosistem ini menyimpan kekayaan karbon biru—yang memainkan peran penting dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Selain fungsi ekologi yang tinggi, karbon biru juga memiliki potensi nilai ekonomi yang besar. Skema perdagangan karbon biru dan pembayaran jasa ekosistem karbon biru yang sedang berkembang memberikan peluang baru untuk mendukung pembangunan berkelanjutan di wilayah pesisir Indonesia. Perkembangan pasar karbon, baik secara domestik maupun internasional, membuka peluang bagi Indonesia dalam memimpin pengembangan dan operasionalisasi program ekonomi biru.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, Airlangga Hartarto, pernah mengatakan Indonesia memiliki potensi pendapatan sebesar 565,9 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau sekitar Rp 8.000 triliun dari perdagangan karbon dari hutan, mangrove dan gambut. Proyeksi tersebut
menggunakan skema bila Indonesia mampu menjual karbon dengan nilai kredit karbon 5 dolar AS per ton CO₂e.
Meskipun menyimpan kekayaan karbon biru global yang besar, hingga kini Indonesia justru menjadi negara dengan satuan nilai ekonomi karbon (harga karbon) yang masih jauh lebih rendah dibanding negara-negara lain. Sebagai contoh, Uruguay memiliki harga karbon sekitar 167 dolar AS per ton CO₂e. Banyak negara maju lainnya menetapkan harga karbon di atas 50 dolar AS per ton CO₂e. Sementara itu, Indonesia baru memulai dengan harga yang sangat rendah, yaitu sekitar 1 dolar AS per ton CO₂e.

Dalam “Sains dari Medan Merdeka": Nilai Ekonomi Karbon Biru dan Kepemimpinan Indonesia” yang digelar di Jakarta, Selasa (14/1o/2025), hadir pakar dan pemangku kepentingan membahas memanfaatkan potensi karbon biru termasuk dari segi ekonomi. Indonesia berpeluang menjadi pemimpin dalam memajukan dan menjalankan program ekonomi biru di tingkat global yang berkeadilan.
Ilmuwan Utama dari Center for International Forestry Research and World Agroforestry (CIFOR-ICRAF) sekaligus Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Daniel Murdiyarso, mengatakan Indonesia harus berani menetapkan harga yang layak untuk karbon biru Indonesia. “Harga 5 dolar AS per ton karbon itu sangat murah. Indonesia juga harus memiliki sistem tata kelola dan regulasi yang jelas.
Daniel menegaskan: “merestorasi hutan mangrove yang sudah rusak lebih sulit dan lebih mahal ketimbang upaya melindungi dari deforestasi dan degradasi”. Karena itu, “upaya konservasi adalah mencegah terjadinya emisi harus mendapat imbalan yang layak”. “Namun sayang, mekanisme pasar tidak melihat pencegahan emisi sebagai peluang”, tegasnya lagi. Sebagai contoh harga karbon biru yang diserap dan disimpan oleh ekosistem rumput laut ditetapkan Jepang dalam perdagangan unilateral hingga 400 dolar AS per ton.
“Indonesia perlu menciptakan tata kelola yang baik dan transparan serta memastikan proyek karbon yang berkualitas dari sisi teknis dan sains. Perhitungan dan pemantauan proyek karbon di Indonesia harus dijalankan dengan metode yang berstandar internasional,” tegasnya. Penting kepastian hukum dan kebijakan yang koheren demi memastikan keberlanjutan program ekonomi karbon biru .
Indonesia adalah negara dengan sisa luas lahan mangrove terbesar di dunia atau 1/4 dari Mangrove dunia, dengan candangan karbon biru 3 miliar ton per hektar. Indonesia seharusnya memiliki daya tawar yang tinggi dalam perdagangan karbon biru global. Salah satu upaya mencapai itu adalah memperjelas skema perdagangan karbon dan memanfaatkan pengetahuan ilmiah yang sudah memadai untuk meningkatkan kualitas dan integritas proyek karbon biru di Indonesia.
Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Hanif Faisol Nurofiq, sepakat Indonesia maju menjadi pemimpin dalam perdagangan karbon termasuk karbon biru. Pemerintah Indonesia sudah mengambil beberapa langkah besar, memperkuat daya saing perdagangan karbon di tingkat dunia. Langkah itu antara lain penandatanganan Mutual Recognition Agreement (MRA) antara Sertifikasi Pengurangan Emisi GRK Indonesia (SPEI) dan Verified Carbon Standard (VCS) Program oleh Verra, penandatanganan Letter of Intent (LoI) perihal kerja sama penggunaan metodologi dengan Puro.earth, serta penerbitan dokumen panduan bagi pengembang proyek yang melakukan sertifikasi dengan Gold Standard for Global Goals (GS4GG).
Peluang Indonesia sebelumnya diawali mengoptimalkan pendanaan iklim melalui skema REDD+ termasuk hutan mangrove didalamnya. Indonesia memperoleh pembayaran berbasis kinerja (result-based payment, RBP) dari GCF sebesar 103,8 juta USD dan FCPF sebesar 180 juta USD; termasuk result-based contribution (RBC) sebesar 216 juta USD yang berasal dari Pemerintah Norwegia, namun masih berasal dari stok karbon mangrove di atas permukaan tanah.
Indonesia juga telah menyampaikan Forest Reference Level dengan memasukkan karbon bawah permukaan tanah hutan mangrove dalam rangka mengakses pembayaran berbasis kinerja selanjutnya. Indonesia juga mengoptimalkan pendanaan iklim melalui skema Pasal 6.4 Persetujuan Paris dan kerjasama dengan Jepang untuk skema Pasal 6.2 Persetujuan Paris, serta dengan Pemerintah Norwegia di bawah Norwegian Article 6 Climate Action Fund (NACA) Project.