Kasus Perundungan Melonjak, Media Sosial Turut Memperparah Situasi
Candaan yang dilakukan berulang, terutama dalam relasi yang tidak seimbang, dapat berkembang menjadi tindakan bullying
Spektroom - Fenomena perundungan (bullying) di Indonesia masih menjadi isu yang memerlukan perhatian serius, terutama di lingkungan pendidikan. Berbagai pemantauan nasional menunjukkan bahwa angka kekerasan di sekolah meningkat signifikan dalam beberapa tahun terakhir.
Hal ini dapat dilihat pada data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) yang dikutip Goodstats. Data itu mencatat 573 kasus kekerasan di sekolah pada 2024, meningkat lebih dari dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya. Sekitar sepertiga dari jumlah tersebut merupakan tindakan perundungan. Sementara itu, KPAI menerima 2.057 pengaduan perlindungan anak sepanjang 2024, menunjukkan bahwa persoalan perundungan masih tinggi dan membutuhkan penanganan lebih lanjut.
Menyoroti kondisi tersebut, ketua Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember, Alfisyah Nurhayati, M.Si., menegaskan bahwa bullying bukan sekadar candaan atau interaksi spontan antar teman. Ia menjelaskan bahwa perundungan mengandung unsur kesengajaan yang membuat korban merasa direndahkan, tertekan, atau diperlakukan tidak setara.
“Candaan yang dilakukan berulang, terutama dalam relasi yang tidak seimbang, dapat berkembang menjadi tindakan bullying,” kata Alfisyah, Jumat (5/12/2025).
Ia menambahkan bahwa media sosial turut memperparah situasi karena banyak perilaku agresif yang ditiru dari konten viral dan dianggap sebagai bentuk keberanian.
Lebih lanjut, Alfisyah menjelaskan bahwa dampak perundungan tidak hanya terlihat secara fisik tetapi juga menimbulkan luka psikologis jangka panjang. Rasa takut, hilangnya kepercayaan diri, perubahan perilaku sosial, dan tekanan mental menjadi gejala yang sering muncul tanpa disadari.
“Dalam konteks pendidikan, sekolah memiliki tanggung jawab besar dalam menciptakan ruang belajar yang aman. Pendidik bukan hanya bertugas menyampaikan materi, tetapi juga memastikan hak siswa untuk merasa dilindungi. Pembiaran terhadap bullying, dapat mengabaikan hak-hak dasar anak untuk berkembang dengan nyaman,” lanjut Alfisyah.
Ia menambahkan bahwa upaya pencegahan tidak dapat sepenuhnya dibebankan kepada sekolah. Peran orang tua, lingkungan sosial, serta komunikasi yang efektif menjadi unsur penting dalam memutus rantai perundungan sejak dini.
PSGA UIN KHAS Jember sendiri terus memperkuat langkah pencegahan melalui Satgas PPKS, penyusunan kode etik, serta kampanye literasi anti kekerasan di berbagai kanal kampus. Upaya ini ditujukan agar mahasiswa, guru, dan masyarakat memiliki kesadaran kolektif untuk menolak segala bentuk kekerasan.
Dalam kaitannya dengan berbagai langkah tersebut, Alfisyah berharap dunia pendidikan dapat benar-benar menjadi ruang yang aman dan mendukung pertumbuhan setiap peserta didik.
“Saya berharap ada kesadaran bersama bahwa pendidikan adalah ruang untuk tumbuh dan memperbaiki diri, bukan tempat untuk menunjukkan kekuasaan ataupun melakukan tindakan yang merendahkan orang lain,” pungkasnya.