Komunikasi Pejabat Publik : WAH

Komunikasi Pejabat Publik :  WAH
Asrul M. Mustaqim (Dosen Pasca Sarjana IISIP Jakarta)

Spektroom - Kesan pertama tentang ini adalah: berantakan. Kasus pertama yang muncul adalah tentang teror kepada Tempo, di mana Kepala Komunikasi Presiden menyataka, dimasak aja. Presiden sendiri perlu menjelaskan kepada para Pemimpin Redaksi yang diundang ke Istana, bahwa ada cara yang salah dilakukan oleh PCO – Hasan Nasbi, ketika itu. Karena kesalahan itu, kemudian kepala Komunikasi Kepresidenan mengajukan surat pengunduran diri. Kita tahu bersama bahwa Hasan Nasbi masih terus bertugas, dan suratnya itu diabaikan oleh Presiden.

Pejabat publik tak terbatas pada bidang eksekutif di pemerintah pusat. Kasus yang gempar belakangan adalah tantangan atas protes warga Pati, karena sang Bupati menantang, "jangankan 5000, bahkan 50.000 saya ladeni.” Apa yang terjadi kemudian adalah kehadiran warga Pati yang lebih dari 50.000 untuk protes kebijakan Pemkab Pati atas kenaikan pajak di daerah.

Karena desakan demonstran, kenaikan pajak itu pun dibatalkan oleh Bupati Pati. Kejadian protes semacam itu juga terjadi di Bone, juga tentang pajak daerah yang naik tinggi. Kini, sssemua pejabat daerah diawasi oleh Menko Polkam terkait kebijakan tentang pajak daerah. Apakah akan berhenti di situ? Baiknya kita tunggu.

Tapi soal komunikasi pejabat publik, bukan hal sembarangan, terbukti ketika menyebar di media sosial tentang pernyataan Menteri Keuangan mengenai guru jadi beban negara, yang dibantah karena tak sesuai aslinya tapi hasil rekayasa artifisial. Ada pula yang menyebut sebagai canda Menteri ATR yang menyatakan semua tanah adalah milik negara. Canda yang kebablasan lagi....aduh.

Dari Parlemen kita juga dapat kabar kenaikan tunjangan yang fantastis. Ini mendorong protes warga pada 25 Agustus lalu, yang bahkan demontrasi dinilai anarkis. Penilaian polisi tentang demo anarkis, juga melahirkan protes warga. Jadi, sembarang pernyataan dari pejabat publik pusat atau daerah, atau parlemen, atau pihak keamanan tak bisa diterima oleh warga masyarakat kebanyakan.

Seyogianya memang upaya pembangunan masyarakat dikomunikasikan sejak perencanaan, pelaksanaan sampai laporan hasilnya sehingga mendapat dukungan publik, baik sebagai sasaran atau subyek pembangunan. Untuk persoalan komunikasi pejabat publik lintas sektor, perlu koordinasi sehingga tak saling bertentangan antara satu dan lainnya.

Selain itu, pemahaman tentang publik atau warga mesti lebih baik lagi mengingat mereka bukan saja subyek pembangunan tapi warganet (netizen) yang punya akses bebas pada media massa – utamanya medsos. Perbincangan di antara warganet perlu jadi perhatian bagi para birokrat sehingga bukan saja diterima tapi didukung oleh mereka. Jangan pula seenaknya menggunakan buzzer yang dibayar untuk upaya kampanye sosial. Warganet sudah cermat menilai mana yang opini organik, dan opini yang difabrikasi untuk kepentingan tertentu.

Cara plesetan opini yang disajikan di medsos lewat rekayasa konten pun harus diwaspadai, mengingat bukan hanya untuk keperluan social development, tapi engagement cuma untuk play semata. Sekali lagi, warga net sudah cukup faham tentang perlakuan pada konten medsos hingga melenceng. Dalam hal ini, tugas komunikator pejabat publik juga menetralisir isu dengan segera agar tak tersebar meluas dan dianggap kebenaran, seperti diteorikan dalam posttruth.

Wah.. komunikasi para pejabat publik mesti dibenahi serius, dan ditangani secara seksama, demi tercapainya tujuan komunikasi publik yang dinyatakan untuk pembangunan masyarakat. Jangan sampai yang terjadi adalah sebaliknya, menjadi gosip liar yang melahirkan penolakan bahkan pembangkangan warga yang adalah warganet dan publik sekaligus

Penulis: Asrul M. Mustaqim (Dosen Pasca Sarjana IISIP Jakarta)