KUHAP Baru: Pertaruhan di Meja Pembuktian
Oleh: Zulkhaidir Kadir -Kriminolog.
Spektroom - Pembuktian dalam KUHAP baru mengalami rekonstruksi fundamental. Indonesia tidak lagi menganut numerus clausus yang ketat seperti KUHAP lama.
Daftar alat bukti tetap disebutkan, tetapi Pasal 235 ayat (1) huruf h memasukkan frasa baru yang mengubah paradigma lama “segala sesuatu yang dapat digunakan untuk kepentingan pembuktian … sepanjang diperoleh secara tidak melawan hukum.”
Ini adalah fondasi sistem pembuktian terbuka atau open evidentiary system, yang memberi hakim ruang untuk menilai bukti yang sebelumnya dianggap “tidak bernama” selama bukti sah, autentik, dan relevan.
Jika demikian, apakah Indonesia masih berada dalam jalur negatief wettelijk stelsel? KUHAP lama merujuk pada Pasal 183, yang menuntut dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim.
Namun struktur ini sudah tidak ada dalam KUHAP baru. Pasal yang dulunya secara eksplisit menyebut “dua alat bukti sah” dan “keyakinan hakim” menimbulkan diskusi. Apakah sistem pembuktian hukum acara pidana mulai bergeser?
Jika ditelusuri secara fungsional, Pasal 235 masih mempertahankan prinsip bahwa alat bukti harus sah menurut undang-undang.
Namun pada saat yang sama, Pasal 235 ayat (1) huruf h memperkenankan alat bukti yang tidak bernama. Artinya, unsur negatief (kewajiban bukti harus sah secara hukum) tetap dipertahankan, tetapi unsur wettelijk (murni legalistik dengan daftar tertutup) semakin direlaksasi.
Maka, KUHAP baru tidak lagi menganut negatief-wettelijk stelsel murni, melainkan bentuk hibrida yang mendekati vrij bewijsstelsel terbatas, model pembuktian bebas yang tetap memerlukan legalitas dan autentikasi.
Jika dianalisis dari sudut kebijakan kriminal, khususnya Kriminalpolitik der Beweiswürdigung (kebijakan kriminal tentang penilaian bukti), KUHAP baru memberi dua konsekuensi penting.
Pertama, sistem pembuktian terbuka meningkatkan kapasitas negara untuk bereaksi terhadap kejahatan high-tech dan kejahatan kerah putih.
Kedua, pengawasan legalitas bukti tetap kuat melalui syarat autentikasi dan larangan penggunaan bukti yang diperoleh secara melawan hukum.
Semua ini dilakukan sebagai bentuk perlindungan terhadap risiko Überdehnung staatlicher Macht atau pelebaran kekuasaan negara dan penyalahgunaan bukti oleh aparat.
Sayangnya, setiap perluasan ruang interpretasi dalam hukum acara pidana selalu memiliki dua sisi. Kapasitas negara menghadapi kejahatan modern meningkat, tetapi peluang penyalahgunaan juga bertambah.
Potensi pertama muncul dari Pasal 235 ayat (1) huruf h. Norma ini memberi hakim ruang luas menilai bukti non-tradisional. Masalahnya, ruang luas untuk hakim berarti ruang lebar pula untuk penyidik memasukkan bentuk-bentuk bukti yang tidak selalu mudah diverifikasi.
Dampaknya beban pembuktian legalitas bukti dapat bergeser tanpa disadari ke arah yang terlalu memudahkan negara, mendekati pola evidentiary drift yang sering dikritik dalam literatur Jerman.
Potensi kedua terletak pada penggunaan bukti elektronik (Pasal 242). Bukti elektronik memang penting, tetapi juga paling mudah dimanipulasi baik secara teknis maupun administratif. Penyidik dapat tergoda merekayasa konteks bukti, atau menyajikan potongan informasi yang menguntungkan pihak penuntut dan merugikan terdakwa.
Potensi penyalahgunaan berikutnya muncul dari paradigma “barang bukti diperluas” pada Pasal 241. Barang bukti tidak lagi terbatas pada benda fisik tetapi juga “hasil, akibat, atau sarana tindak pidana”, aparat penegak hukum memiliki keleluasaan besar dalam mengklasifikasikan sesuatu sebagai barang bukti.
Ruang klasifikasi yang terlalu besar ini bisa berujung pada tindakan penyitaan berlebihan (over-seizure), termasuk penyitaan aset yang tidak memiliki keterkaitan langsung dengan tindak pidana.
Sistem pembuktian terbuka juga menimbulkan risiko over-reliance on inference, yaitu kecenderungan hakim menyimpulkan keterkaitan antar-bukti dengan tingkat kebebasan yang berlebihan. Karena KUHAP Baru tidak lagi mencantumkan formula tegas “dua alat bukti sah” seperti Pasal 183 KUHAP lama, hakim berpotensi menyusun konstruksi pembuktian yang bergantung pada inferensi subjektif.
Jika penalaran tidak dibatasi oleh standar pembuktian yang jelas, KUHAP Baru bisa bergerak menuju bentuk evaluasi bukti yang tidak terikat kontrol normatif.
Exclusionary rule dalam KUHAP Baru sebenarnya menjadi rem darurat di tengah sistem pembuktian yang makin longgar itu. Aturannya sederhana, bukti yang didapat dengan cara salah harus ditolak.
Dan kalau bukti pertama lahir dari pelanggaran, maka bukti-bukti setelahnya dinyatakan tidak sah. Doktrin ini di banyak negara digaungkan dengan nama "fruit of the poisonous tree".
KUHAP Baru tidak menyebut istilah itu secara eksplisit, tetapi semangatnya bergerak ke arah yang sama. Negara diberi pintu masuk bukti yang lebih luas, walaupun cara masuknya tetap diawasi ketat.
KUHAP Baru memilih jalan tengah. Tidak mengadopsi free proof radikal ala common law. Tidak mempertahankan rigiditas negatief-wettelijk stelsel. Tetapi menciptakan model open-structured legal proof, di mana hakim bebas menilai bukti namun terikat pada syarat legalitas, melalui proses autentikasi sehingga bisa didapatkan nilai pembuktian (probative value), dan relevan.(ZKK).