Marak Kasus Gugat Cerai Suami Pasca Jadi PNS, Ini Kata Pakar Ilmu Keluarga

Marak Kasus Gugat Cerai Suami Pasca Jadi PNS, Ini Kata Pakar Ilmu Keluarga
Ilustrasi perceraian (freepik)

Spektroom - Istri diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) seharusnya menjadi momen membahagiakan yang membawa harapan baru bagi keluarga. Tetapi menjadi ironi bagi keluarga yang mulai tampak ada kemapanan namun keluarga menjadi retak dan gugat cerai meningkat

Maraknya fenomena gugat cerai tersebut membuat Pakar Ilmu Keluarga IPB University, Dr Tin Herawati mengungkapkan keprihatinannya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024, dari 1.478.302 pernikahan terdapat 394.608 kasus perceraian atau 26,7 persen keluarga mengalami perceraian. Pengajuan perceraian paling banyak diajukan istri (gugat cerai) sebanyak 308.956 kasus (78,3 persen) dan sisanya oleh suami.

"Jika pada tahun 2025 ini marak gugat cerai di kalangan ASN maka peluang gugat cerai akan semakin meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya,” ujar Dr Tin dalam keterangannya di IPB University, Bogor, Senin (25/8/2025)

Menurut Dr Tin, pengangkatan sebagai ASN membawa perubahan identitas drastis bagi istri seperti status sosial meningkat, memiliki karier bagus, dan kemandirian. Namun, ada pola relasi dan situasi yang berubah dalam kehidupan keluarga.

“Sebelum diangkat jadi ASN, waktu, perhatian, dan energi diprioritaskan untuk keluarga. Tetapi setelah diangkat situasi mulai berubah karena terbagi ke dalam urusan dinas, pelatihan, pergaulan baru, dan tuntutan profesionalisme,” ucapnya.

Perubahan situasi tersebut menjadi masalah jika tidak dilakukan secara seimbang, artinya lebih fokus pada urusan pekerjaan dibanding keluarga. Hal ini dapat memicu ketidakpuasan dan ketidakbahagiaan dalam kehidupan keluarga yang berujung pada perceraian.

Dr Tin menjelaskan, dari hasil review beberapa hasil penelitian diperoleh informasi bahwa terdapat sejumlah penyebab gugat cerai. Beberapa di antaranya, terus menerus berselisih dan tidak terselesaikan, serta suami yang tidak bertanggung jawab. “Ini jawaban yang paling banyak disampaikan istri,” ungkapnya.

Selain itu, suami melalaikan kewajibannya dan sama sekali tidak berperan, bahkan ada suami yang meninggalkannya. Dari riset tersebut juga terungkap, suami tidak bertanggung jawab secara ekonomi karena pengangguran, dan tidak berusaha mencari pekerjaan.

“Penyebab lainnya karena adanya kekerasan yang dilakukan suami, krisis akhlak seperti judi online, mabuk-mabukan, adanya pihak ketiga, suami melakukan poligami, dan suami melakukan tindak pidana,” urainya.

Untuk pasangan muda dengan suami istri bekerja, komunikasi terbuka adalah fondasi penting. Dr Tin meminta agar tiap pasangan bisa menjaga interaksi keluarga berkualitas, dan berbagi peran antara suami dan istri. Bagi istri yang bekerja, ia menyarankan agar melakukan keseimbangan untuk urusan keluarga dan pekerjaan.

“Berapa pun besarnya gaji, setinggi apa pun jabatan di dunia pekerjaan, istri harus tetap mampu melaksanakan perannya dan fungsinya dengan baik dalam kehidupan keluarga, tambahnya.

Berita terkait