Medsos, dan Opini Bocil
Oleh: Usman Lonta, Pengamat Sosial, Anggota DPRD Sulsel 2009-2024 - Disampaikan M. Yahya Patta

Spektroom - Dalam perjalanan pulang dari kampung halaman isteri tercinta, saya dikagetkan oleh pandangan seorang bocil yang usianya sekitar 11 tahunan, namanya Aura. Sepanjang perjalanan saya menikmati ayunan gelombang yang menghantam fery yang kami tumpangi. Menjelang fery sandar di dermaga Siwa sang bocil ini mengatakan bahwa saya pernah melihat buaya di muara sungai di kampung kelahiran saya. Buaya tesebut sangat ganas memakan apa saja termasuk ternak warga. Saya mencoba memotong pembicaraannya dengan pertanyaan apakah buaya juga memakan manusia? Lalu Aura menjawab iya, saya tanya lagi apakah buaya juga makan presiden? Dia bilang iya, tapi presiden yang di makan adalah presiden yang suka berbohong. Kalau presiden jujur tidak dimakan oleh buaya.
Sampai di sini dialog saya dengan bocil terhenti dan merenung, betapa dahsyatnya media sosial membentuk alam bawah sadar manusia termasuk bocil tadi.
Kalau kita buka Tiktok, IG, kita akan menemukan komentar bocil yang kadang nyeleneh, bahkan di luar nalar orang dewasa, misalnya riuhnya informasi dijagat raya tentang korupsi, tentang ketidakadilan, tentang nepotisme dan lain-lain, dengan enteng bocil berkata bahwa pensiunkan saja mereka biar diganti oleh player mobile legends. Agak absurd memang, tapi terkadang jauh lebih simpel daripada setumpuk rekomendasi yang dikeluarkan oleh kelompok pakar untuk membenahi masalah tersebut di Negeri ini.
Coba bayangkan seorang bocil bikin vidio dengan caption "Guys negara bangkrut, jangan-jangan bentar lagi top up ML juga dilarang. Vidio ini mendapatkan views sekitar 2 jutaan, sementara analisis dari ekonom tentang krisis global mendapatkan views 200 saja, aneh kan?. Bocil berpotensi menjadi influencer yang bekerja tanpa kontrak. Memang sangat disayangkan, algoritma publik jauh lebih doyan terhadap sensasi yang receh daripada substansi, tapi itulah demokrasi digital.
Namun kalau direnungi secara mendalam, opini bocil punya nilai, punya makna, didalamnya ada kejujuran, ada keberanian. Misalnya riuh isu tentang krisis fiskal, kenaikan pajak bumi bangunan di beberapa daerah, kenaikan tunjangan perumahan Anggota DPR, Bocil hanya bilang "anjay pemerintah noob banget" (pemerintah nggak becus sih?) simpel, lugas dan menusuk kalbu. Mereka komentar tanpa drama, tanpa basa basi, dan menurut saya ini adalah salah satu bentuk literasi demokrasi.
Namun demikian, komentar bocil, jangan dianggap remeh. Bocil hari ini adalah politisi hari besok. Bedanya, kalau di medsos mereka debat pakai kata “anjay” , “guys”, “noob,” dan istilah istilah gaming lainnya, di parlemen nanti tinggal diganti jadi “Yang Terhormat.” Pola sama, hanya kamus yang berbeda. Mungkin 20 tahun lagi kita akan lihat orasi politik dengan gaya live streaming: “Halo guys, balik lagi sama gue, hari ini kita sidang RAPBN. Jangan lupa like, share, dan subscribe channel DPR.” Dan percayalah, bocil yang sekarang hobi komen receh, bisa jadi ketua fraksi yang seriusdi masa yang akan dating.
Medsos bukan lagi sekadar ruang hiburan, tapi arena demokrasi digital. Bocil, meskipun kecil, usianya dianggap belum matang, tapi punya suara yang besar di trending topic. Mereka mungkin nggak ngerti ekonomi makro, tapi ngerti cara bikin netizen lebih kritis.
Jadi, sebelum menyepelekan komentar bocil, ingatlah: mungkin justru dari mulut bocil itulah lahir ide-ide segar yang nggak terpikirkan oleh orang dewasa yang kepalanya sudah sesak dengan pikiran terhadap masa depan anak dan generasi mereka.
Karena di era medsos, demokrasi bukan lagi “satu orang, satu suara,” tapi “satu jempol, satu trending.” Dan bocil punya jempol tercepat di antara kita semua.
Wallahu a’lam bishshawab,
Siwa, 12 September 2025