Menata Karakter Mahasiswa Di Era Digitalisasi
Opini oleh: Nur Laela, Guru Besar Fakultas Agama Islam / Ketua Program Studi Doktor Managemen Pendidikan Islam Program Pasca Sarjana PPS UMI Makassar Dilaporkan M.Yahya Patta

Spektroom - Hubungan antara mahasiswa dan dosen merupakan salah satu fondasi utama dalam dunia pendidikan tinggi. Relasi ini idealnya dibangun di atas dasar saling menghormati, etika akademik, dan semangat pembelajaran yang sehat. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, muncul fenomena yang mengkhawatirkan: sebagian mahasiswa menunjukkan penurunan sikap hormat dan etika terhadap dosen mereka, bahkan terdapat kasus-kasus di mana mahasiswa tidak hanya bersikap kurang sopan, tetapi juga menunjukkan sikap tidak tahu berterima kasih atas bimbingan dan pengajaran yang telah diberikan dosen. Ketika dosen menegur atau memberikan kritik yang konstruktif, sebagian mahasiswa merespons dengan cara yang tidak pantas, merasa tersinggung, dan bahkan melakukan komplain tanpa refleksi diri.
Fenomena ini mencerminkan terjadinya krisis karakter di kalangan mahasiswa, yaitu melemahnya nilai-nilai dasar seperti sopan santun, tanggung jawab, dan rasa hormat terhadap otoritas keilmuan. Jika tidak ditangani dengan serius, kondisi ini tidak hanya akan merusak tatanan etika akademik, tetapi juga melemahkan kualitas proses pembelajaran secara keseluruhan, oleh karena itu, diperlukan strategi dan pendekatan yang tepat untuk mengembalikan marwah yaitu kehormatan dan nilai luhur dalam hubungan antara mahasiswa dan dosen di era yang penuh tantangan ini.
Permasalahan utama yang muncul dalam relasi antara mahasiswa dan dosen adalah menurunnya sikap saling menghargai dan hilangnya etika komunikasi akademik, pada sejumlah kasus, mahasiswa tidak hanya bersikap acuh, tetapi juga berani menunjukkan perilaku konfrontatif terhadap dosen, baik secara langsung di dalam kelas maupun melalui media sosial. Teguran yang bersifat mendidik sering kali dianggap sebagai serangan pribadi. Akibatnya, bukan hanya proses pembelajaran yang terganggu, tetapi juga semangat mengajar dari para dosen ikut menurun karena merasa tidak dihargai.
Relasi dosen dan mahasiswa yang seharusnya menjadi wahana pembinaan karakter, sering kali berubah menjadi hubungan yang semata transaksional. Mahasiswa hanya melihat dosen sebagai pemberi nilai, bukan sebagai pendidik atau figur pembina. Ketika nilai yang diperoleh tidak sesuai ekspektasi, sebagian mahasiswa bahkan menyalahkan dosen tanpa melakukan refleksi diri terhadap proses belajar mereka sendiri. Fenomena ini memperlihatkan bahwa telah terjadi pergeseran nilai dalam dunia akademik. Rasa hormat yang dulu menjadi norma dalam dunia kampus, kini mulai luntur, digantikan dengan sikap permisif, individualistik, bahkan kadang arogan. Ini menjadi tantangan serius bagi dunia pendidikan tinggi dalam mencetak lulusan yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara emosional dan berkarakter.
Beberapa faktor yang dapat diidentifikasi sebagai penyebab dari krisis karakter dan menurunnya marwah hubungan dosen-mahasiswa antara lain:
-Kurangnya Pendidikan Karakter yang Berkesinambungan. Pendidikan formal terlalu fokus pada capaian kognitif, sementara aspek afektif dan nilai-nilai moral kurang diperhatikan secara serius. Di tingkat pendidikan tinggi, pembinaan karakter sering dianggap tidak lagi menjadi prioritas, karena diasumsikan sudah terbentuk sejak sekolah dasar dan menengah.
-Perubahan Pola Asuh dan Lingkungan Sosial. Generasi mahasiswa saat ini banyak yang tumbuh dalam lingkungan yang permisif, di mana segala hal diukur dengan kenyamanan pribadi dan kebebasan berekspresi. Sayangnya, kebebasan tersebut kadang tidak disertai tanggung jawab moral dan kesadaran etika dalam berinteraksi.
-Pengaruh Teknologi dan Budaya Digital. Kemajuan teknologi dan media sosial turut membentuk gaya komunikasi generasi muda yang lebih spontan, cepat, dan kadang tidak mempertimbangkan etika. Sikap terhadap dosen pun kadang terpengaruh gaya komunikasi ini, yang cenderung informal bahkan ofensif.
-Minimnya Keteladanan. Mahasiswa sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya, termasuk keteladanan dari para dosennya sendiri. Jika dosen tidak menunjukkan integritas, konsistensi, dan profesionalisme, maka sulit bagi mahasiswa untuk meneladani nilai-nilai baik dalam praktik nyata.
-Tidak Jelasnya Penegakan Etika Akademik. Banyak kampus tidak memiliki panduan atau kode etik mahasiswa yang jelas dan tegas. Akibatnya, pelanggaran etika sering tidak ditindak secara sistematis, sehingga mahasiswa tidak memiliki rambu-rambu jelas dalam bersikap.
Strategi Solusi: Membangun Kembali Marwah Dan Etika Akademik
Menghadapi kondisi ini, dibutuhkan pendekatan yang komprehensif, kolaboratif, dan berkelanjutan. Berikut beberapa strategi solusi yang dapat diterapkan oleh dosen, institusi pendidikan, dan mahasiswa itu sendiri:
-Integrasi Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran. Pendidikan karakter tidak seharusnya menjadi mata kuliah tersendiri yang terpisah dari konteks kehidupan kampus. Dosen dari semua disiplin ilmu bisa menyisipkan nilai-nilai etika, tanggung jawab, dan sopan santun dalam proses belajar. Misalnya, dengan memberikan contoh kasus yang mengandung dilema moral, mengajak diskusi etis, atau memberi refleksi nilai di akhir kuliah.
-Keteladanan dan Sikap Profesional Dosen, Dosen perlu menjadi panutan, baik dalam bersikap, berkomunikasi, maupun menegakkan disiplin. Teguran atau kritik sebaiknya disampaikan dengan nada mendidik, bukan menghakimi. Dosen juga harus menunjukkan bahwa mereka terbuka terhadap dialog dan masukan, sehingga mahasiswa belajar menghormati tanpa merasa ditindas.
-Penerapan Kode Etik Akademik yang Tegas. Kampus perlu memiliki aturan dan standar etika yang jelas, yang mengatur hubungan antar mahasiswa dan dosen. Pelanggaran terhadap etika harus diberikan sanksi edukatif, bukan hukuman yang menjatuhkan, sehingga mahasiswa memahami konsekuensi dari sikapnya.
-Pendekatan Personal dan Empatik. Tidak semua mahasiswa yang bersikap buruk melakukannya karena niat jahat. Beberapa mungkin sedang mengalami tekanan psikologis, masalah keluarga, atau belum mampu mengelola emosi. Oleh karena itu, dosen atau wali akademik bisa melakukan pendekatan personal, berdialog secara tenang, dan memberikan pembinaan dengan empati.
-Pelibatan Mahasiswa dalam Kegiatan Pembentukan Karakter. Kegiatan organisasi kemahasiswaan, pelatihan kepemimpinan, mentoring, dan kegiatan sosial bisa menjadi wahana efektif untuk membentuk karakter. Kampus perlu mendukung kegiatan ini agar mahasiswa belajar nilai-nilai tanggung jawab, kerja sama, komunikasi sehat, dan penghargaan terhadap orang lain.
-Evaluasi Internal dan Refleksi Kelembagaan. Institusi pendidikan perlu secara berkala mengevaluasi budaya akademik di lingkungan kampus. Hal ini dapat dilakukan melalui survei, forum dialog antara mahasiswa dan dosen, atau program pembinaan kampus ramah etika. Kampus yang sadar pentingnya budaya akademik akan lebih siap membina mahasiswa secara holistik.
Mengembalikan marwah hubungan mahasiswa dan dosen bukanlah tugas yang mudah, apalagi di tengah era krisis karakter yang semakin kompleks. Namun, langkah ini sangat penting untuk menjaga integritas dunia akademik sebagai ruang peradaban, bukan sekadar tempat mencari gelar. Dosen sebagai pendidik dan mahasiswa sebagai pembelajar harus saling menguatkan, saling menghormati, dan saling mendukung. Hanya dengan hubungan yang dilandasi nilai-nilai etika, penghargaan, dan komunikasi yang sehat, pendidikan tinggi dapat menghasilkan lulusan yang bukan hanya unggul secara intelektual, tetapi juga bermartabat sebagai manusia seutuhnya.
Mahasiswa adalah individu yang sedang dalam proses pendewasaan. Ketika mereka belum menunjukkan rasa terima kasih atau bahkan bersikap tidak sopan, itu bukan semata-mata kesalahan mereka, melainkan cermin dari proses pembinaan karakter yang belum maksimal. Dosen dan kampus perlu menjadi bagian dari solusi, bukan sekadar pengamat. Dengan pendekatan yang sistematis dan manusiawi, mahasiswa dapat diarahkan kembali menjadi pribadi yang beretika, menghargai ilmu, dan menghormati guru.