Merger Media Negara: Jalan Baru ANTARA, RRI, dan TVRI di Era Digital

SPEKTROOM.ID– Wacana penggabungan tiga lembaga media milik negara—Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA, Radio Republik Indonesia (RRI), dan Televisi Republik Indonesia (TVRI)—semakin mengemuka seiring pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Radio dan Televisi Republik Indonesia (RUU RTRI) di Komisi I DPR RI.
Gagasan ini tak lahir tiba-tiba. Di tengah derasnya arus digitalisasi dan tantangan disrupsi informasi, dorongan untuk menyatukan kekuatan media publik menjadi isu strategis nasional. Dr. Eko Wahyuanto, dosen Sekolah Tinggi Multimedia MMTC Yogyakarta, menyebut gagasan merger tersebut sebagai langkah relevan untuk memperkokoh posisi penyiaran publik nasional (National Public Broadcasting).
“Sinergi kelembagaan, efisiensi anggaran, dan konsolidasi konten adalah kunci agar media publik tetap relevan dan berdaya saing,” ujar Eko.
Namun, langkah perubahan ini belum sepenuhnya mendapat sokongan dari berbagai pihak. Resistensi muncul, utamanya dari dalam tubuh masing-masing lembaga, dengan alasan pelestarian nama, aset sejarah, dan struktur organisasi yang telah terbentuk sejak lama. Bagi sebagian pihak, wacana merger ini masih seperti "bertepuk sebelah tangan".
Antara Sejarah dan Masa Depan
Memang, ketiga lembaga tersebut tak bisa dilepaskan dari sejarah panjang perjalanan bangsa. Namun, pertanyaan krusial yang kini bergema adalah: apakah mempertahankan romantisme sejarah cukup menjamin keberlanjutan fungsi di era serba digital?
“Kalau memang mau menjaga nilai sejarah, maka harus dimaknai secara dinamis dan kontekstual,” lanjut Eko. Ia menyarankan pembangunan museum digital, pengarsipan siaran penting, hingga pelestarian peran ketiga lembaga melalui transformasi fungsional, bukan hanya menjaga nama.
Alih fungsi aset fisik menjadi pusat inovasi media dan ruang kreatif digital, menurutnya, adalah jalan tengah yang realistis. Sebab mempertahankan aset non-produktif justru bisa menjadi beban fiskal di tengah tuntutan efisiensi.
Belajar dari India
Pengalaman global menunjukkan jalan transformasi yang mungkin ditempuh. India telah lebih dulu membentuk Prasar Bharati, lembaga siaran publik yang mengintegrasikan All India Radio dan Doordarshan. Model ini memungkinkan masing-masing unit mempertahankan identitas sambil mengoptimalkan sinergi konten dan anggaran.
Indonesia dinilai bisa meniru langkah tersebut. ANTARA, misalnya, dapat difokuskan sebagai kantor berita digital bertaraf internasional, sementara RRI dan TVRI menjadi penyedia konten audio-visual berbasis komunitas dan budaya lokal dalam format modern.
“Dengan satu entitas yang solid, platform lintas media ini bisa menjadi ekosistem penyiaran publik masa depan,” ujar Eko.
Tantangan Nyata dan Data yang Mencemaskan
Data Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tahun 2023 mencatat pangsa siaran RRI dan TVRI hanya 2,3 persen dari total konsumsi media nasional. Survei Litbang Kompas 2022 juga menunjukkan hanya 12 persen generasi muda yang secara rutin mengakses RRI dan TVRI.
Di sisi lain, polarisasi informasi dan penyebaran hoaks kian masif. Ketika masyarakat butuh media publik sebagai penjernih informasi, kepercayaan justru mengarah ke platform digital asing yang tak memiliki tanggung jawab publik.
Momentum Reformasi Lembaga
Jika gagasan merger ini berhasil, maka ANTARA, RRI, dan TVRI dapat bergerak dalam satu ekosistem terpadu berbasis kecerdasan buatan, dengan strategi distribusi konten yang efisien dan format lintas platform. Liputan ANTARA dapat dikembangkan menjadi podcast oleh RRI, lalu diolah menjadi dokumenter TVRI—semuanya dalam satu ekosistem terpadu.
“Yang terpenting bukan sekadar nama, tapi fungsi. Penyiaran publik harus tampil sebagai penjaga demokrasi, penyedia edukasi publik, dan penguat literasi media,” tegas Eko.
Mewariskan, Bukan Mengubur
Sejarah tak harus dikubur untuk melangkah maju. Contoh sukses transformasi PT Kereta Api Indonesia (KAI) membuktikan bahwa modernisasi lembaga tua bukan hanya mungkin, tapi mendesak. Kini giliran sektor penyiaran publik menjawab tantangan serupa.
Merger bukan berarti menghapus jejak, tapi justru mengabadikannya dalam bentuk baru yang lebih adaptif dan visioner.
Langkah ke depan bukan soal melupakan sejarah, tetapi soal membawanya ke masa depan yang lebih relevan.( Eno ).