Metode Experiantial Learning ‘Access to Justice 2025’ FH UNEJ Pikat Peserta Internasional

Spektrooom - Fakultas Hukum Universitas Jember (FH UNEJ) kembali menjadi tuan rumah kursus internasional “Access to Justice in Southeast Asia & Beyond 2025” yang menarik perhatian luas, termasuk peserta mancanegara. Berlangsung dari 21 Juli hingga 14 Agustus 2025 di Gedung Dekanat lantai 3 FH UNEJ, program ini secara khusus berfokus pada isu krusial terkait instrumen internasional dan hak-hak masyarakat pribumi, serta mengintegrasikan teori dengan pengalaman lapangan untuk memperkuat pemahaman mengenai keadilan bagi kelompok terpinggirkan. Ini adalah kali kedua kursus internasional serupa diselenggarakan, setelah yang pertama dilakukan pada tahun 2023 oleh CHRM2 (The Centre for Human Rights, Multiculturalism, and Migration) FH UNEJ.
Tujuan utama kursus ini adalah untuk mengampanyekan pentingnya akses terhadap keadilan secara global. Dekan FH UNEJ, Prof. Bayu Dwi Anggono, menegaskan bahwa inisiatif ini sejalan dengan prinsip pengabdian ‘amal’ yang diusung FH UNEJ melalui tagline “Ilmu, Amal dan Integritas” dalam konteks meningkatkan akses keadilan bagi seluruh masyarakat.
“Tujuan utama dari kursus ini tentu saja selain menghasilkan peningkatan kapasitas civitas akademik, juga mengenai pentingnya bagaimana cara kita meningkatkan access to jusitce. Berangkat dari kasus di masing-masing negara, saya berharap akan lahir pembaru-pembaru hukum, aktivis, dosen dan mahasiswa yang tidak hanya memiliki kepedulian terhadap akses keadilan, tetapi juga model praktis untuk meningkatkan akses keadilan di wilayah masing-masing,” imbuh Prof. Bayu.
Keunggulan program ini terletak pada metode ‘experiantial learning’ yang sangat diapresiasi oleh peserta kursus internasional, karena formatnya disebut sebagai yang pertama kali dilakukan. Dr. Al Khanif, selaku ketua penyelenggara, menjelaskan filosofi di balik pendekatan ini, “Kita ingin menggeser paradigma dimana keadilan tidak hanya dicari melalui perspektif pasal undang-undang, namun juga melalui praktik di masyarakat. Misalnya melalui kunjungan yang akan datang ke pondok pesantren kita bisa belajar untuk memahami keadilan dalam islam”.
Kursus ini diikuti oleh 36 peserta, dengan 12 diantaranya berasal dari luar Indonesia. Mereka memiliki latar belakang studi yang sangat beragam, mulai dari hukum, ilmu politik, sosiologi, hingga ilmu komputer, data sains dan farmasi, yang menunjukkan bahwa akses keadilan adalah isu multi-disipliner.
Para peserta tentunya sangat antusias dengan metode pembelajaran yang diusung dalam kursus ini. Ashton Wu, peserta dari Singapura menyatakan “Saya menyukai metode pembelajaran eksperiensial. Menurut saya ini sangat penting dan luar biasa bisa masuk ke komunitas itu sendiri untuk menyaksikan berbagai praktik, ritual, festival, serta memahami pengalaman para pemimpin komunitas”. Ia menambahkan bahwa pengalaman ini tidak mungkin didapat jika berpergian sendiri. Gerald John dari Filipina juga menggarisbawahi manfaatnya, menyebut bahwa metode ini memberikan pandangan dan perspektif lokal tentang bagaimana komunitas di Indonesia menghadapi isu akses keadilan. Ia mengimbuhkan, “Bagi saya pengalaman ini benar-benar mengikat hal-hal yang kami pelajari di kelas menjadi semacam pengalaman dunia nyata”.
Nabilla Fadia Syafa atau yang akrab dipanggil Bella, peserta dari Indonesia juga meyakini bahwa metode ini membantunya lebih memahami tantangan hukum dunia nyata yang dihadapi oleh komunitas terpinggirkan. “Hal ini tentunya mendorong saya untuk berkolaborasi dengan teman sekelas, dosen, dan praktisi dari berbagai latar belakang sehingga kami dapat meningkatkan pemahaman lintas budaya”, imbuhnya.
Selain itu, kunjungan lapangan yang sudah dilakukan di beberapa komunitas, seperti komunitas Ogawa (Organisasi Gaya Warna), Tanoker dan Tengger, juga meninggalkan kesan mendalam bagi peserta kursus. Ashton merasa sesi bersama komunitas Ogawa sangat penting baginya, karena ia dapat mendengar secara langsung perjuangan yang dihadapi komunitas tersebut. Bagi Gerald yang paling terkesan baginya adalah pada saat mengunjungi komunitas di Tengger, ia berkata “di komunitas itu, banyak realisasi khususnya dalam interaksi antara komunitas agama yang berbeda dalam komunitas adat”. Sama halnya dengan Bella, ia juga menilai pengalamannya selama bertemu dengan komunitas Tengger memberikan wawasan yang unik dan mendalam tentang budaya, tradisi, dan perspektif mereka tentang keadilan dan kehidupan sosial.
Melalui kursus ini, tentunya para peserta berharap untuk dapat mengaplikasikan pembelajaran yang telah didapat di negara atau komunitas asal mereka. Ashton menekankan pentingnya pembangunan hubungan. Baginya, bertemu dengan orang-orang dari Malaysia, Vietnam, Filipina, dan tentu saja Indonesia, adalah hal yang paling penting. Ia percaya bahwa koneksi yang ia lalui selama kursus ini memperkaya pemahamannya tentang dunia dan membantunya menghubungkan perjuangan bersama, yang merupakan perspektif yang akan ia bawa pulang.
Sedangkan Gerald berencana menggunakan pengetahuannya untuk diterapkan di komunitasnya sendiri. Ia menyoroti pentingnya memberi ruang pada isu-isu krusial. Dengan memahami tantangan umum antara komunitas di Indonesia dan negaranya, ia melihat peluang untuk berkolaborasi dan secara kolektif merubah reformasi tidak hanya di tingkat nasional tetapi juga di tingkat regional bahkan universal. Bagi Bella, ia memiliki tujuan spesifik menggunakan ilmu yang ia dapat untuk melindungi hak-hak masyarakat adat Osing di daerah asalnya Kota Banyuwangi.
Dalam jangka panjang, kursus ini diharapkan dapat menjadi sarana pengenalan Fakultas Hukum dan Universitas Jember kepada peserta internasional, serta memperkuat reputasi FH UNEJ di mata internasional. Dekan FH UNEJ, Prof. Bayu menyatakan optimisme bahwa kegiatan ini akan berkelanjutan dan menjadi agenda rutin di masa mendatang setelah dilakukan evalusai terhadap dampaknya. Dengan memadukan pengetahuan teoritis dengan pengalaman nyata di lapangan, kursus internasional “Access to Justice” FH UNEJ tidak hanya mendidik para pesertanya tetapi juga menginspirasi mereka untuk menjadi agen perubahan yang berempati dan terhubung secara global dalam perjuangan untuk keadilan sosial dan hak asasi manusia. (Budi S)