Peredaran Rokok Polos Meroket, Kemenkeu Komitmen Jalankan Reformasi Cukai

Peredaran Rokok Polos Meroket, Kemenkeu Komitmen Jalankan Reformasi Cukai
Foto Capture Zoom Meet

Spektroom - Pemerintah tetap komitmen untuk menjalankan amanat RPJMN 2025-2029, termasuk reformasi cukai melalui simplifikasi struktur dari 19 menjadi 8 layer dalam 12 tahun terakhir, serta memperkuat penegakan hukum atas rokok ilegal dan pemanfaatan penerimaan cukai untuk kesehatan serta pembangunan SDM.

Hal itu disampaikan Kepala Sub Bidang Cukai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Sarno pada Virtual diseminasi dan bedah Buku TCnomics - Doa kita Menanti reformasi dan implementasi kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) 2026 Jum'at (3/10/2025)

Menurut Sarno, komitmen tersebut dipicu adanya indikasi peningkatan peredaran rokok polos (tanpa cukai) mulai meningkat di tahun 2024, meski penindakan DJBC mencapai 20.783 dalam tahun yang sama.

“Kita bisa bayangkan keuntungan besar yang dinikmati pelaku rokok ilegal. Karena itu, pengendalian rokok ilegal harus berjalan beriringan dengan kebi'akan cukai prosresif,” ujar Sarno

Oleh karenanya,pengendalian rokok ilegal harus berjalan beriringan dengan kebijakan cukai progresif.

Sarno juga menekankan bahwa realisasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) sejak 2021 selalu di atas 40 %, membuktikan pemanfaatan cukai telah diarahkan pada layanan kesehatan, kesejahteraan pekerja, dan penegakan hukum.

Sementara diforum yang sama, Ekonom, Faisal Rahmanto Moeis menilai TCNomics sebagai bukti kuat bahwa pengendalian konsumsi rokok berpotensi menghemat economy cost hingga ratusan triliun rupiah per tahun sekaligus menurunkan risiko kemiskinan akibat belanja rokok yang tidak produktif.

audio-thumbnail
Voice Rahmanto Buku
0:00
/61.49

Rahmanto merujuk pada studi CISDI yang menunjukkan potensi penghematan Rp.184.410 Triliun (1,1 s/d 2,6 % dari GDP) melalui pengendalian konsumsi, baik dari sisi direct cost (biaya pengobatan dan angka kesakitan) maupun indirect cost (hilangnya produktivitas dan usia harapan hidup lebih rendah).

Menurutnya, dengan jumlah populasi Indonesia yang kian besar, jika konsumsi rokok tidak dikendalikan maka beban ekonomi akan semakin terpuruk yang diperkuatboleh data Susenas.

“Rata-rata 12 % pengeluaran rumah tangga dihabiskan untuk rokok, menjadikannya pos terbesar kedua setelah makanan dan minuman jadi, atau sekitar Rp.91 ribu per kapita per bulan. Seharusnya belanja ini bisa dialokasikan untuk kebutuhan produktif rumah tangga, bukan habis untuk rokok,” jelasnya.

Selain Sarno dan Faisal Rahmanto Moeis, Virtual diseminasi dan bedah Buku TCnomics tersebut juga menghadirkan pembahas Gurnadi Ridwan, dari Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) dan Krisna Puji Rahmayanti dari Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia.(@Ng).

Berita terkait