Catatan Perjalanan Rafles Rajo Endah ke Lombok #2

Catatan Perjalanan Rafles Rajo Endah ke Lombok #2
Bandara Internasional Lombok atau Lombok Praya Internasional Airport (Foto: Rafles)

"Lombok Praya, Satu Bandara Dengan Banyak Nama"

Spektroom - Pernahkah anda mendengar nama Bandara Selaparang, Bandara Internasional Lombok atau Lombok International Airport, Bandara Internasional Zainuddin Abdul Majid (BIZAM) dan Bandara Internasional Lombok Praya atau Lombok Praya International Airport. Kalau pernah, apakah anda berfikir itu nama dari lima Bandara yang ada di Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat atau NTB? Kalau iya berarti anda salah, karena kelima nama itu adalah nama dari satu Bandara yang sama di Pulau Lombok.

Bandara ini pada awalnya bernama Bandara Selaparang, terletak di pinggiran (sekarang di pusat) Kota Mataram. Setelah beroperasi selama lebih dari setengah abad Bandara ini kemudian dipindahkan dan diperluas sesuai dengan ketentuan penerbangan internasional ke daerah Praya yang merupakan ibukota Kabupaten Lombok Tengah dan berganti nama menjadi Bandara Internasional Lombok atau Lombok International Airport.

Ketika TGB M. Zainul Majdi menjabat sebagai Gubernur Nusa Tenggara Barat, beliau menyematkan nama Tokoh Ulama Terkemuka di daerah itu yang juga orang tua kandungnya Zainuddin Abdul Majid sebagai nama baru Bandara, sehingga Bandara Lombok resmi berganti nama menjadi Bandara Internasional Zainuddin Abdul Majid atau BIZAM.

Namun nama Bandara Internasional Zainuddin Abdul Majid sampai saat ini hanya ada diatas kop surat, di plang mana dan tertulis dinding Bandara saja, karena kalangan penerbangan termasuk agen dan biro perjalanan baik di dalam maupun luar negeri lebih suka menyebutnya dengan Bandara Internasional Lombok Praya atau Lombok Praya International Airport.

Di Bandara inilah saya bersama isteri, seorang anak laki-laki, seorang menantu dan 2 orang cucu mendarat pada pertengahan bulan Juni lalu tepatnya pada hari Jum'at 20 Juni 2025, sekitar pukul 14.00 Waktu Indonesia Tengah (WITA)

Pesawat Boeing 737-900 Lion Air yang berpenumpang 215 orang take off tepat waktu pukul 07.40 WIB dari Bandara Hang Nadim, Batam. Tumben ternyata Lion Air bisa on time juga ya? Cuaca dilaporkan cerah dan berawan tipis, membuat penerbangan terasa nyaman tanpa turbulensi sama sekali.

Tepat 2 jam kemudian kami sudah mendarat di Bandara Juanda Surabaya untuk transit selama lebih kurang 1 jam. Alhamdulillah kami memanfaatkan waktu transit untuk sarapan dan beristirahat sejenak sebelum melanjutkan penerbangan ke Lombok. Setelah menungu selama hampir satu jam, ternyata pesawat pengganti yang akan menerbangkan kami ke Lombok diumumkan bakal delay sekitar satu jam. Artinya masa istirahat kami di Bandara Juanda jadi bertambah.

Penerbangan dari Bandara Juanda Surabaya ke Bandara Lombok Praya sebenarnya hanya akan memakan waktu sekitar satu jam saja. Tetapi karena berada dalam pusaran waktu dari Waktu Indonesia Barat (WIB) ke Waktu Indonesia Tengah (WITA) maka kami baru akan sampai di Lombok dua jam kemudian akibat adanya perbedaan waktu 1 jam antara WIB dengan WITA.

Tidak ada yang istimewa dari Bandara Lombok Praya ini. Bahkan arsitektur, penataan ruang Bandara dan suasananya hampir sama dengan Bandara Internasional Minangkabau (BIM) di Padang, Sumatera Barat. Karena itulah kami tidak ingin berlama-lama dengan mengabadikan berbagai sudut Bandara, tetapi cukup dengan sekedar berfoto dibawah  tulisan besar icon "Lombok" sebagai bukti bahwa kami telah mendarat di Lombok.

Tidak ingin merepotkan tuan rumah atau keluarga yang sedang sibuk mempersiapkan pesta pernikahan, kami menolak untuk dijemput ke Bandara dan memilih mencari mobil sewaan/rental yang banyak ditawarkan di Bandara. Kami memilih kendaraan dari jenis Innova Reborn yang harga sewa Rp.750.000,-/hari untuk pemakaian dalam kota dan Rp.1.000.000,-/hari untuk pemakaian luar kota dan sudah lengkap dengan Driver dan BBM.

Karena waktu kedatangan kami yang masih agak siang Sang Driver yang kemudian juga merangkap sebagai pemandu wisata kami menawarkan kunjungan ke beberapa objek wisata terdekat dari Bandara sebelum kami diantar ke tempat menginap di Hotel Lombok Raya di Kota Mataram. Pilihannya adalah ke Desa Wisata Sade dan Sirkuit Mandalika. Pilihan objek wisata ini langsung kami setujui karena letaknya yang berada di jalur menuju pusat kota Mataram.

Desa Wisata Sade yang terletak hanya sekitar 15 menit perjalanan dari Bandara Lombok Praya adalah contoh yang baik bagi pengelolaan wisata budaya yang terkoordinir dan terkolaborasi dengan baik antara satu stakeholder dengan stakeholder lainnya. Betapa tidak, setiap kali ada tamu/wisatawan yang datang pastilah ditawari untuk berkunjung, minimal beristirahat sejenak di Desa Wisata Sade. Kedatangan tamu/wisatawan akan disambut pemuka desa dan mendapat penjelasan panjang lebar dari seorang pemandu wisata desa tentang apa dan bagaimana kehidupan serta adat istiadat yang masih berlaku di Desa Sade.

Desa Sade sendiri cukup luas dengan sekitar 150 rumah kuno/rumah adat Suku Sasak didalamnya. Untuk mengelilingi Desa ini dibutuhkan waktu antara 2 sampai 3 jam. Malah kalau diselingi dengan belanja oleh-oleh kerajinan tangan masyarakat seperti kain tenun, pakaian adat dan pernak-pernik lainnya yang dijual hampir disetiap rumah lalu diselingi dengan makan minum dan berbincang dengan warga desa, bisa-bisa akan menghabiskan waktu sampai setengah hari berada di Desa ini.

Puas berkeliling di Desa Sade, kami melanjutkan perjalanan ke Sirkuit Mandalika yang terkenal itu. Hampir satu jam waktu yang kami habiskan di perjalanan untuk sampai ke Sirkuit Mandalika ini dari Desa Sade. Kebetulan sedang ada lomba yang sedang berlangsung di sirkuit ini, sehingga kami tidak bisa masuk untuk melihat sirkuit dari pintu utama. "Kita bisa lihat sirkuit dari Tribun Terbuka di sebelah kanan itu Pak", kata driver/guide yang selalu menyertai kami ke setiap objek wisata.

Gerbang masuk Sirkuit Mandalika, Lombok (Foto: Rafles)

Entah kenapa saya tidak terlalu terkesan dengan sirkuit ini yang keadaannya seperti tidak terurus dengan baik, terutama dengan rerumputannya sudah panjang setengah merimba dan sampah dedaunan yang berserakan terbawa angin. Iseng saya bertanya, " Kok seperti tidak terurus ya. Sirkuitnya besar dan luas serta dibangun dengan biaya trilyunan, tapi seperti terlantar begitu saja". "Ya, begitulah Pak, mungkin nanti waktu akan ada lomba balap Internasional baru dibenerin lagi", jawabnya singkat.

Hanya sebentar kami di Sirkuit Mandalika, saya ingin segera ke Bukit Seger, tempat legenda Putri Mandalika yang sesungguhnya, yang terletak di bagian belakang sirkut. Apabila kita mampu menaiki bukit dibalik anak sungai yang membelah Padang Savana Mandalika, maka kita akan menyaksikan dua pemandangan indah sekaligus yakni kawasan sirkuit dengan track/arena pacunya yang berlika-liku, sekaligus bisa menyaksikan Teluk Mandalika yang tenang, indah dan permai.

Karena usia yang sudah terbilang tua, saya dan isteri tidak ikut naik ke bukit. Hanya anak, menantu dan 2 orang cucu yang mencoba menapaki satu persatu anak tangga menuju keatas bukit. Saya memilih untuk beristirahat di salah satu warung di Pantai Mandalika sambil mendengarkan kisah/cerita tentang Puteri Mandalika. Beginilah kisahnya sebagaimana yang saya kutip dari Meta AI :

"Puteri Mandalika adalah seorang putri cantik dari Kerajaan Sekar Kuning di Lombok yang dikenal karena kecerdasannya, kesabaran, dan kerendahan hatinya. Ia tumbuh menjadi gadis santun dan sangat menyayangi rakyatnya. Namun, kecantikan dan kebaikannya menarik perhatian banyak pangeran dari kerajaan lain yang ingin memperistrinya".

Patung Puteri Mandalika saat hendak terjun ke laut di Pantai Mandalika, Lombok (Foto: Rafles)

*Konflik yang Muncul*

"Kedatangan belasan pangeran untuk melamar Puteri Mandalika menimbulkan konflik karena setiap pangeran mengancam akan menyerang kerajaan lain jika permintaannya tidak dikabulkan. Puteri Mandalika sedih dan bingung, tak ingin rakyatnya menderita akibat pilihannya".

*Pengorbanan Puteri Mandalika*

"Untuk mencegah perang, Puteri Mandalika memutuskan untuk mengorbankan dirinya. Ia meminta semua pangeran berkumpul di Pantai Seger, lalu melompat ke laut dan tenggelam. Setelah itu, rakyat menemukan cacing laut berwarna-warni yang diyakini sebagai jelmaan Puteri Mandalika".

*Makna dan Tradisi*

"Kisah Puteri Mandalika diperingati setiap tahun dalam Festival Bau Nyale, di mana masyarakat Lombok menangkap cacing laut yang diyakini sebagai simbol kesuburan dan kemakmuran. Puteri Mandalika dianggap sebagai simbol pengorbanan untuk kebaikan rakyat dan kerajaannya".

*Pesan Moral*

"Kisah ini mengajarkan kita tentang pentingnya kerendahan hati, pengorbanan untuk kebaikan bersama, dan menghindari kesombongan. Puteri Mandalika menjadi contoh bagi masyarakat Lombok tentang betapa berharganya pengorbanan demi kedamaian dan kesejahteraan rakyat".

Selain mengunjungi Desa Sade, Sirkuit Mandalika dan Bukit Seger dengan kisah Puteri Mandalikanya, selama berada di Lombok kami juga mengunjungi Pantai Senggigi, Mesjid Tua di Desa Bayan, Desa Wisata Sembalun di Kaki Gunung Rinjani, Kota Tua Ampenan dan Air Terjun Bertingkat Benang Kelambu di Desa Aik Berik, Lombok Tengah serta menghadiri Akad Nikah dan Pesta Perkawinan anak dari Saudara sepupu isteri di Masjid Agung Kota Mataram.

Selama 4 hari 3 malam berada di Lombok, banyak sudah tempat dan objek wisata yang kami kunjungi. Akan tetapi lebih banyak lagi yang belum sempat dikunjungi. Demikian dikatakan driver/pemandu wisata kami selama berada di Lombok. Apakah itu artinya suatu saat kami akan kembali lagi ke Lombok? Jawabannya mungkin saja karena masih ada belahan diri dari saudara sepupu isteri beserta keluarganya yang tinggal di Lombok yang suatu saat mungkin saja akan kembali mengundang dan meminta kami untuk datang kembali ke Lombok. Entahlah, entah kapan. Wallahua'lam Bishawab...!!!
(Tamat)

Berita terkait