Peta Kejahatan Kota: Kasus Bilqis dan Jejak Crime Pattern Theory di Makassar
Opini: Zul Khaidir Kadir, SH., MH. Kriminolog/Dosen Fakultas Hukum UMI Makassar. Disampaikan M. Yahya Patta
Spektroom - Namanya Bilqis. Umurnya empat tahun. Hari itu, di Taman Pakui Sayang, Makassar. Tertawa lepas, tanpa tahu bahwa ruang bermainnya akan berubah jadi arena penculikan. Hanya beberapa menit. Cukup untuk membuat sejarah kecil dalam hidup seorang anak, dan menampar kesadaran besar kita tentang keamanan ruang publik.

Rekaman CCTV kemudian beredar. Seorang perempuan dewasa menggandeng tangan Bilqis, melangkah keluar taman. Tidak ada teriakan. Tidak ada kepanikan. Orang-orang di sekitar mungkin mengira itu ibu dan anak. Itulah bagian paling menakutkan dari kejahatan modern. Sering terjadi tanpa drama.

Hari berganti. Berita menyebar cepat. Dari Makassar hingga Jambi. Ribuan kilometer jauhnya, akhirnya Bilqis ditemukan dalam keadaan selamat. Tapi di balik kelegaan itu, ada kegelisahan akademik yang tak bisa begitu saja diredam, bagaimana seorang anak bisa berpindah lintas provinsi tanpa sistem keamanan apa pun yang mendeteksinya?
Sebagai kriminolog, saya tidak melihat kasus ini sekadar penculikan anak. Ia adalah pola. Sebuah pola yang bisa dijelaskan melalui Crime Pattern Theory (CPT), teori yang dikembangkan oleh kriminolog Paul dan Patricia Brantingham. Teori ini berkata crime is not random. Kejahatan mengikuti peta kehidupan manusia. Ia terjadi di tempat yang kita kenal, di jalur yang kita lewati setiap hari, di sudut yang tampak biasa namun rapuh.
Brantingham menyebut kota sebagai “mental map of crime”. Tiap manusia memiliki rute tetap: dari rumah ke sekolah, dari taman ke jalan besar, dari area bermain ke tempat parkir. Pelaku juga bagian dari rutinitas itu. Mereka mengenali nodes (titik kegiatan), paths (jalur pergerakan), dan edges (batas wilayah antara aman dan rawan).
Dan di situlah Bilqis hilang, di sebuah "edge", batas antara ruang aman dan ruang terbuka. Antara taman kota dan jalan besar. Antara pengawasan orang tua dan seorang perempuan asing yang berjalan dengan percaya diri. Tidak ada sirine, tidak ada penjaga, tidak ada yang merasa aneh. Sebuah kejahatan berjalan dengan sangat “normal”.
Crime Pattern Theory menjelaskan bahwa pelaku bertindak di area yang mereka pahami, yang disebut awareness space. Di ruang itu, mereka tahu kapan pengawasan longgar, di mana titik buta kamera, dan bagaimana keluar tanpa menarik perhatian. Artinya, penculik Bilqis bukan hanya nekat, dia familiar dengan ruang itu. Dia membaca pola kota, seperti perampok membaca denah bank.
Lebih dari itu, perpindahan Bilqis dari Makassar ke Jambi menunjukkan tanda bahwa pelaku tidak bekerja sendiri. Dalam kacamata kriminologi, hal ini mengindikasikan "structured mobility crime" atau sebuah bentuk jaringan sosial kejahatan di mana pelaku dibantu oleh rantai logistik informal. Sopir, penyedia transportasi, atau perantara yang tidak sadar terlibat. Jaringan terbentuk di sepanjang paths antar-node, dan makin mudah berkembang di era mobilitas tinggi. Pelaku tidak bergerak sendiri, tapi dalam rantai sosial yang cair dan lintas kota. Ekosistem kriminal yang bergerak diam-diam mengikuti arus manusia dan barang di jalur antarkota.
Inilah ironi kota-kota modern. Kita membangun taman, tapi lupa membangun sistem pengawasan. Kita memasang CCTV, tapi tidak menempatkan “mata sosial” orang-orang yang siap merespons bila ada situasi tak wajar. Dalam bahasa Brantingham, kita kehilangan guardians, handlers, dan managers. Tiga lapisan untuk mencegah kejahatan. Guardian melindungi target (anak), handler mengawasi pelaku potensial, manager menjaga tempat agar tetap aman. Dalam kasus Bilqis, tiga-tiganya tidak hadir.
Teori ini juga membawa pesan praktis. Pencegahan kejahatan harus dirancang seperti arsitektur. Dalam pencegahan kejahatan situasional atau Situational Crime Prevention ditekankan bahwa mengubah ruang bisa mengubah perilaku. Lampu yang lebih terang, pintu keluar yang terbatas, pos penjagaan di area bermain, jalur yang mudah diawasi. Semua itu bukan hal sepele, tapi strategi penurunan peluang kejahatan.
Meski sudah ditemukan, kasus Bilqis mengajarkan bahwa keamanan anak tidak cukup dijaga oleh cinta orang tua, tapi oleh desain kota yang sadar risiko. Kota yang aman bukan kota yang punya banyak polisi, tapi kota yang secara struktural mempersulit kejahatan untuk terjadi. Bagi seorang kriminolog, kisah Bilqis bukan akhir bahagia. Tetapi justru titik awal untuk membaca peta baru kriminalitas perkotaan di Indonesia. Karena jika kejahatan bisa menempuh rute sejauh Makassar–Jambi tanpa hambatan, berarti “mental map of crime” kita jauh lebih canggih daripada sistem keamanan publik kita sendiri.
Dan sampai kita belajar membaca pola itu, sebelum pelaku berikutnya melangkah di jalur yang sama, setiap taman, setiap halte, setiap ruang publik akan tetap menyimpan kemungkinan yang sama, bahwa rasa aman kita hanyalah ilusi di antara dua "node" kehidupan. (Zul Khaidir Kadir)