Pidato Kenegaraan Presiden : Antara Konsistensi dan Janji

Spektroom - Pada tanggal 17 Agustus 2025, 80 tahun sudah para pendiri bangsa Indonesia mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia.
Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945 adalah momen penting dalam perjuangan panjang bangsa ini untuk berdiri di atas kaki kita sendiri.
Setelah deklarasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, bangsa kita berperang selama lima tahun. Kita berperang merebut kemerdekaan dengan senjata dan dengan diplomasi, dengan semua kekuatan kita hingga kedaulatan kita benar-benar dapat kita rebut dan diakui di tahun 1949.
Dalam pidato kenegaraan dihadapan anggota DPR/MPR dan DPD, Presiden Prabowo Subianto mengingatkan, sejak itu, para pendahulu saya, Presiden Republik Indonesia pertama hingga Presiden Republik Indonesia yang ketujuh, bekerja keras membangun bangsa Indonesia. Bekerja keras untuk mewujudkan bangsa yang adil dan makmur.
Presiden Sukarno telah memimpin perjuangan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan berhasil mempertahankan keutuhan wilayah Republik Indonesia di tengah berbagai intervensi dan invasi dari negara asing. Presiden Sukarno juga berhasil mengintegrasikan Irian Barat ke dalam NKRI.

Dalam pidatonya, Presiden Prabowo yang memulai dengan penghormatan kepada tujuh presiden terdahulu, narasi ini penting sebagai pengakuan atas keberlanjutan dan legacy pembangunan, ini sejalan dengan teori "path dependency" dalam politik kelembagaan, yang menegaskan perjalanan bangsa terbentuk dari pijakan sejarah, bukan sekadar visi sesaat.
Pembukaan pidato Prabowo tersebut sesungguhnya menegaskan kesinambungan, bukan diskontinuitas. Merangkul warisan kebijakan untuk meminimalkan resistensi legislatif dan birokratik, sekaligus mengirim sinyal kepastian kepada pasar.
Kembali ke pidatonya, Prabowo Subianto memberi penekanan bahwa tidak semua negara mampu melaksanakan transisi kepemimpinan dengan baik dan lancar seperti kita.
Di mana-mana, ketika saya berada di luar negeri, banyak pemimpin negara sahabat bertanya kepada saya: How did you do it? How did Indonesia manage? Saya sampaikan ke mereka, kita berhasil karena kita menganut demokrasi yang khas Indonesia.
Demokrasi yang sejuk. Demokrasi yang mempersatukan, bukan demokrasi yang saling gontok-gontokan, saling menjatuhkan, saling maki, saling hujat, atau juga bukan demokrasi yang saling membenci.
Inilah yang harus kita pegang teguh, Demokrasi warisan nenek moyang kita adalah demokrasi yang sesuai dengan budaya kita.
Budaya kekeluargaan, budaya gotong royong, budaya mikul dhuwur mendem jero, budaya saling mengisi, budaya saling mendukung, budaya tepo seliro, budaya menahan diri, budaya yang iso rumongso, bukan rumongso iso.
Kita paham dan mengerti bahwa dalam suatu negara modern perlu ada pengawasan. Perlu ada transparansi dalam menjalankan kekuasaan.
Kita paham sejarah umat manusia. Jika ada kekuasaan yang tidak diawasi maka kekuasaan akan menjadi korup. Kekuasaan yang absolut akan korup secara absolut.
Dalam pandangannya, Presiden mengibaratkan negara seperti tubuh manusia yang akan mati jika darahnya terus keluar, dan para koruptor serta penganut serakahnomik adalah pihak yang menyebabkan darah itu mengalir.
Pesan ini, menjelaskan bahwa tidak ada seorang pun yang boleh merasa kebal hukum.
Komitmen pemberantasan korupsi yang disampaikan Presiden bukanlah sekadar retorika.
Sepanjang sepuluh bulan pemerintahan Prabowo-Gibran, sudah ada puluhan kasus korupsi yang diusut, bahkan melibatkan nama-nama besar yang sebelumnya dianggap tak tersentuh.
Hal ini, membuktikan bahwa Presiden tidak akan membela segelintir orang yang merugikan jutaan rakyat.
Namun apa mau dikata, pengamat politik dari Lingkar Madani, Ray Rangkuti, secara blak-blakan mengatakan pidato itu kontradiktif dengan kenyataan yang ada.
Tanpa merinci siapa menteri yang dimaksud, Ray mencontohkan pernyataan politikus Partai Gerinda itu soal “nol toleran terhadap korupsi,” tetapi pada kenyataannya Prabowo masih memilih menteri yang sedang berhadapan dengan kasus korupsi.
Beda dengan Ray Rangkuti, pengamat Kebijakan Publik Dr Anzori Tawakal menilai , apa yang telah dilakukan Presiden Prabowo Subianto 100 hari pertama memimpin, konsisten dengan apa yang telah disampaikan pada pidato kenegaraan pertama pada Oktober 2024 lalu.
Presiden Prabowo menekankan swasembada pangan, dan pada 100 hari pertama di berbagai wilayah sudah bergerak cetak lahan baik padi, jagung dan komoditas penting lainnya.
Kemudian, di aspek hukum presiden juga serius bahkan kasus-kasus hukum yang dinilai tidak berkeadilan menurut publik. Presiden Prabowo bahkan menyindir langsung kasus pidana korupsi tata niaga komoditas timah.
Pidato kenegaraan Presiden Prabowo Subianto di Sidang Tahunan MPR yang menempatkan penegakan hukum sebagai salah satu agenda utama pemerintahan, mendapatkan respons positif dari Guru Besar Universitas Negeri Makassar (UNM) Harris Arthur Hedar.
Menurut Harris, hukum yang adil, transparan, dan tidak pandang bulu sebagai syarat mutlak bagi keadilan sosial dan stabilitas nasional.
Prinsip mulia harus bisa diterapkan dan hanya akan bermakna jika diterjemahkan ke dalam langkah-langkah nyata.
Kita hanya bisa berharap Pak Prabowo mampu menjalankan ini dengan baik dan konsisten. Semoga.(@Ng)
Sumber: Sekneg.go.id ; VOA Indonesia ;. Antaranews