Privilegium Elitis di Tengah Luka Publik
Opini Zul Khaidir Kadir, S.H., M.H. - Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum UMI Dilaporkan M. Yahya Patta

Spektroom - Jakarta kembali ramai. Jalanan penuh mahasiswa, buruh, dan suara toa. Semua turun tangan. Semua punya alasan. Dan alasan itu sederhana: merasa diperlakukan tidak adil.
Isunya macam-macam. Yang paling banyak dibicarakan tunjangan DPR. Rp 50 juta sebulan hanya untuk rumah. Angkanya membuat rakyat berhitung. Membandingkan dengan gaji mereka. Membandingkan dengan harga beras. Membandingkan dengan biaya hidup. Rasanya jomplang. Di atas kertas, aturan itu sah. Tapi di hati rakyat, sulit diterima.
Demo pun pecah. Mahasiswa dan buruh berkumpul. Suaranya keras. Polisi pun turun tangan. Tugasnya menjaga ketertiban. Tapi di situ selalu ada dilema. Menjaga jalan tetap lancar atau memberi ruang orang bicara. Dua-duanya tugas negara. Dua-duanya sulit dijalankan sekaligus. Ketika benturan terjadi, yang muncul sering kali justru rasa tidak percaya.
Lalu tragedi itu datang. Seorang ojol meninggal. Ditabrak kendaraan taktis. Tidak ada yang pernah menginginkannya. Tidak ada yang merencanakan. Tapi nyawa tetap hilang.
Dalam hukum pidana, ada istilah culpa. Kelalaian. Tidak ada niat jahat. Tapi akibatnya nyata. Jika standar hati-hati tidak dijalankan, hukum bisa masuk. Ada juga omission, ketika orang seharusnya bisa bertindak, tapi melalaikan kewajiban hukum. Itu pun bisa menimbulkan tanggung jawab. Hukum pidana memberi cara untuk melihat, bukan alat untuk menuding.
Bukan berarti polisi salah. Bukan berarti atasan salah. Peristiwa ini lebih tepat disebut pengingat. Bahwa di tengah keramaian, standar kehati-hatian harus lebih tinggi. Bahwa aparat, komando, dan sistem harus terus belajar agar tragedi serupa tidak terulang.
Di daerah lain, api lain menyala. Anggaran dipotong 25 persen. Pemerintah pusat menghemat, tapi daerah kelabakan. Jalan satu-satunya: pajak daerah naik. Rakyat pun ikut terbebani. Kadang mereka melanggar aturan bukan karena niat jahat, melainkan karena keadaan menekan. Inilah yang oleh para ahli disebut kriminalisasi struktural.
Kalau disatukan, benang merahnya terlihat jelas. Rakyat merasa aturan selalu jadi palu buat mereka. Tapi buat elit, aturan jarang jadi cermin. Maka demo muncul. Bukan sekali. Berulang.
Keadilan itu jangan hanya berhenti di jalan raya. Ia harus masuk ke ruang rapat DPR. Masuk ke meja anggaran. Masuk ke barak-barak aparat. Kalau tidak, protes akan terus ada.
Ke depan, hukum harus bergeser. Tidak lagi hanya jadi alat mengatur kerumunan. Tapi juga jadi alat mengatur kekuasaan. Kalau tidak, siklusnya akan terus sama: protes, represi, tragedi. Dan siklus itu hanya bisa berhenti bila negara berani menegakkan keadilan untuk dirinya sendiri.
(Zul Khaidir Kadir, S.H., M.H. - Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum UMI)