Produk Baru dari Limba MBG, Hasil Inovasi Pemuda Lumajang

Dari dapur umum MBG di SPPG Yosowilangun, Dzaki mengumpulkan sisa makanan untuk diolah menjadi kompos dan pupuk cair.

Produk Baru dari Limba MBG, Hasil Inovasi Pemuda Lumajang
Pemuda Lumajang mengubah limbah MBG menjadi bahan Eco Enzym yang memiliki nilai manfaat. (Foto : Dok. Kominfo Lumajang)

Spektroom – Tidak banyak pemuda yang memiliki inovasi, seperti yang ditunjukkan generasi muda di Lumajang. Adalah Asriafi Ath Thaariq, founder Waroeng Domba 99 dan Rumah Muda Berdaya sekaligus penerima kalpataru dan lencana inovasi desa kementerian desa, menekankan bahwa limbah MBG dapat dimanfaatkan kembali menjadi produk bermanfaat dan bernilai salah satunya eco enzyme produk ramah lingkungan bagi rumah tangga dan pertanian.

“Ada beberapa peluang yang bagus saat ini, yaitu mencari limbah makanan dari Program MBG yang bisa dibuat eco enzyme,” ujarnya saat dikonfirmasi, Rabu (1/10/2025).

Asriafi menambahkan, eco enzyme bukan sekadar pembersih. Dari limbah makanan yang sama, bisa dibuat disinfektan, sabun, pupuk cair, hingga pakan magot untuk pertanian. Dengan demikian, limbah yang semula terbuang justru bisa bernilai ekonomi dan menjadi sumber penghasilan baru bagi pemuda.

Salah satu peserta yang telah mempraktikkan ide ini adalah Dzaki Fahruddin, seorang petani muda yang juga aktif di komunitas lingkungan. Dari dapur umum MBG di SPPG Yosowilangun, Dzaki mengumpulkan sisa makanan untuk diolah menjadi kompos dan pupuk cair.

“Selain mengurangi sampah, hasilnya juga bermanfaat untuk pertanian. Sekarang, saya sedang mengembangkan limbah ini menjadi inovasi lain yang bisa dijadikan produk bernilai jual,” ujarnya sambil menunjukkan botol-botol eco enzyme yang telah siap dipasarkan.

Dzaki menuturkan bahwa prosesnya sederhana namun membutuhkan disiplin. Limbah makanan dicacah kecil, dicampur gula merah dan air, kemudian difermentasi selama tiga bulan sebelum menjadi eco enzyme yang siap digunakan.

Menurut Asriafi, kunci keberhasilan terletak pada kesadaran dan kreativitas pemuda. “Limbah makanan seharusnya dipandang sebagai modal, bukan masalah. Dengan inovasi dan bimbingan, kita bisa menciptakan produk ramah lingkungan sekaligus meningkatkan ekonomi lokal,” jelasnya.

Selain Dzaki, Siti Aisyah, peserta lainnya, juga mencoba mengolah limbah MBG menjadi pupuk cair. “Awalnya saya ragu, tapi setelah melihat hasilnya, pupuk ini lebih subur daripada yang biasa saya pakai. Tanaman saya tumbuh lebih sehat, dan saya bisa menghemat biaya pertanian,” ujarnya.

Praktik ini menunjukkan bahwa limbah MBG tidak hanya bisa diubah menjadi produk jualan, tetapi juga mendukung pertanian berkelanjutan. Bahkan beberapa peserta sudah bereksperimen mencampur eco enzyme dengan pupuk organik untuk meningkatkan kesuburan tanah.

Bagi Asriafi, kegiatan ini juga memiliki nilai edukatif. Para pemuda belajar bertanggung jawab terhadap lingkungan, mengelola sumber daya, dan menumbuhkan jiwa kewirausahaan sejak dini.

“Eco enzyme bukan hanya soal bisnis. Ini soal kesadaran kolektif, bagaimana kita mengubah sampah menjadi manfaat, lingkungan menjadi bersih, dan ekonomi tetap bergerak,” katanya.

Asriafi berharap, program seperti ini bisa direplikasi di seluruh Lumajang. Dengan sinergi antara pemerintah, komunitas muda, dan penggiat inovasi, limbah makanan bisa menjadi sumber daya ekonomi dan edukasi lingkungan.

Dzaki menambahkan bahwa pengolahan limbah MBG bukan sekadar inovasi individu. “Ini adalah gerakan kolektif. Kita bisa menginspirasi desa lain untuk memanfaatkan limbah, mengurangi sampah, dan menciptakan peluang ekonomi baru,” ujarnya.

Dengan kolaborasi yang terus berkembang, limbah MBG kini memiliki wajah baru, yaitu dari sisa makanan menjadi eco enzyme, pupuk, dan pakan, sekaligus media edukasi, peluang usaha, dan pemberdayaan generasi muda. (Yul)