Reza : "Makna Kain Gandong dan Tradisi Adat Maluku, dalam Upacara HUT Kota Ambon"

Reza : "Makna Kain Gandong dan Tradisi Adat Maluku, dalam Upacara HUT Kota Ambon"
Ketua Majelis Latupati, Reza Maspaitella

Spektroom- Perayaan HUT ke-450 Kota Ambon, Bendera Kebasaran Kota Ambon dikawal ke dalam lapangan Merdeka yang merupakan lokasi pelaksanaan upacara bendera oleh Pemuda dan Pemudi (Jujaro dan Mungare) dengan formasi 7 orang yang memegang Kain Gandong, dan 9 orang yang berada di dalam Kain Gandong yang melambangkan tanggal dan bulan lahir kota Ambon yakni 7 September. Para petugas pembawa Bendera Kebesaran kota Ambon dikawal oleh pasukan Cakalele.

Ketua Majelis Latupati, Reza Maspaitella di sela-sela Upacara HUT Kota Ambon menjelaskan, dalam tradisi adat Ambon–Maluku, Kain Gandong memiliki makna yang sangat dalam karena terkait dengan nilai persaudaraan pela gandong yang menjadi dasar kehidupan orang Maluku.

Menurut Reza, terdapat 4 makna dari kain Gandong ini, yakni Simbol Persaudaraan dan Kesatuan Kain Gandong melambangkan ikatan gandong (saudara kandung) antar negeri atau marga.

"Ikatan ini bukan sekadar hubungan sosial, tetapi dianggap sebagai hubungan darah yang tidak dapat diputuskan. Dalam setiap kegiatan adat, kain Gandong dikenakan atau dibentangkan untuk menegaskan kembali ikatan tersebut," tuturnya.

Kemudian Penanda Sakralitas Acara Adat. Kain Gandong biasanya hadir dalam acara penting seperti pengukuhan raja, pernikahan adat, rekonsiliasi konflik, maupun upacara pela.

"Kehadirannya menandai bahwa acara itu tidak hanya bersifat seremonial, tetapi juga sakral—menghadirkan leluhur dan mengikat sumpah adat," tegasnya.

Selanjutnya sebagai Media Rekonsiliasi dan Perdamaian
Dalam sejarah Ambon–Maluku. Kain Gandong sering digunakan sebagai tanda perdamaian ketika terjadi perselisihan antar-negeri.

"Dengan membentangkan atau melilitkan kain Gandong, pihak-pihak yang berselisih dipersatukan kembali dalam semangat hidop orang basudara," lanjutnya.

Terakhir, sebagai Warisan Budaya dan Identitas Kolektif
Selain sebagai simbol adat, kain Gandong juga mencerminkan kekayaan budaya Maluku. Motif, warna, dan cara penggunaannya memiliki filosofi masing-masing yang diwariskan turun-temurun.

"Dengan demikian, kain ini menjadi identitas kolektif masyarakat adat Maluku," imbuhnya.

Sementara itu ungkap Reza, untuk Tarian Cakalele merupakan tarian perang tradisional masyarakat Maluku. Gerakan yang gagah, hentakan kaki yang kuat, serta sorakan khas melambangkan keberanian, kegigihan, dan semangat juang para leluhur Maluku.

"Tarian ini dulu dipentaskan untuk menyambut perang atau menunjukkan kesiapan mempertahankan negeri," sebut Reza.

Upacara HUT ke-450 kota Ambon juga diwarnai dengan tarian sawat, dimana saat didepan pintu Utama Lapangan Upacara, Upulatu dan Rombongan disambut dengan Tarian Sawat dari sanggar Al-Muzafar.

"Tari sawat dan musik sawat adalah tarian dan musik tradisional umat muslim yang ada sejak nenek moyang Maluku yang kemudian dikembangkan sampai saat ini, untuk menyambut para tamu dalam resepsi pernikahan, acara keagamaan dan juga adat istiadat di provisni Maluku," ungkap Reza.

Upacara HUT ke-450 kota Ambon secara keseluruhan dilaksanakan menggunakan bahasa melayu Ambon, mengenakan baju Cele dan Baniang (pakaian khas kota Ambon), sebagai wujud pelestarian nilai-nilai budaya.

Berita terkait