RUU KUHAP: Antara Harapan Reformasi dan Bayang-Bayang Otoritarianisme

Opini: Zul Khaidir Kadir, SH., MH. Dosen Hukum Pidana UMI Makassar Dilaporkan M. Yahya Patta

RUU KUHAP: Antara Harapan Reformasi dan Bayang-Bayang Otoritarianisme
Zul Khaidir Kadir, S.H., M.H. Dosen Hukum Pidana Fak Hukum UMI Makassar

Spektroom - Perdebatan mengenai Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) kembali menyeruak. Publik menaruh harapan besar, karena KUHAP lama yang lahir pada 1981 dianggap sudah uzur menghadapi kompleksitas kejahatan modern. Namun di balik itu, terdapat bayang-bayang terkait apakah revisi ini benar-benar untuk memperkuat hak warga negara, atau justru menambah ruang otoritarianisme aparat?

Sejauh ini, draf RUU KUHAP memang menawarkan sejumlah pembaruan. Ada gagasan memperjelas standar pembuktian, memperkuat hak korban, serta mengatur prosedur elektronik sesuai era digital. Namun, pasal-pasal yang memberi kewenangan luas bagi penyidik seperti penahanan yang lebih lama tanpa kontrol pengadilan, atau wewenang penyadapan tanpa mekanisme pengawasan independen memunculkan kekhawatiran. Dibandingkan melindungi, aturan ini bisa menggerus hak asasi.

Logika kriminalisasi di balik RUU KUHAP tampak seperti pedang bermata dua. Di satu sisi, negara memang perlu instrumen yang lincah menghadapi kejahatan terorganisasi, korupsi, dan cybercrime. Tetapi di sisi lain, elastisitas kewenangan tanpa pagar yang ketat rawan disalahgunakan. Sejarah hukum pidana kita sudah cukup memberi pelajaran mengenai kekuasaan yang tidak diawasi akan melahirkan ketidakadilan.

Di titik inilah publik perlu kritis. Revisi KUHAP bukan sekadar soal mempercepat proses hukum, melainkan juga menentukan wajah keadilan Indonesia puluhan tahun ke depan. Apakah KUHAP baru akan menjadi instrumen perlindungan hak, atau justru menjadi tameng hukum bagi praktik koersif?

RUU KUHAP adalah kesempatan emas bagi Indonesia meneguhkan prinsip due process of law. Tetapi jika prinsip itu diabaikan, maka revisi hanya akan melahirkan “KUHAP rasa lama” yang lebih represif dengan wajah baru. Pertanyaannya kini yaitu apakah legislator berani mendengar suara publik, atau sekali lagi hukum acara pidana hanya akan menjadi arena kompromi politik yang abai pada keadilan substantif?