SAL 200 Trilyun "Antara Harapan Pemulihan dan Realitas Kredit Lesu"
Oleh : M. Nurnajamuddin - Guru Besar UMI Makassar
Spektroom - Kebijakan pemindahan Saldo Anggaran Lebih (SAL) sebesar Rp.200 triliun ke bank-bank milik negara (Himbara) yang digulirkan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sejak awal masa jabatannya sejatinya merupakan sinyal kuat keberpihakan pemerintah terhadap percepatan pemulihan ekonomi nasional.
Dalam kerangka kebijakan fiskal yang bersifat ekspansif, penempatan likuiditas dalam jumlah besar di perbankan diharapkan dapat segera ditransmisikan ke sektor riil melalui peningkatan penyaluran kredit, mendorong investasi, serta membuka lapangan kerja baru.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa mekanisme transmisi kebijakan tersebut tidak berjalan semulus yang dibayangkan. Memang, sejumlah indikator makroekonomi memperlihatkan perbaikan yang patut dicatat.
Indeks keyakinan konsumen mulai menunjukkan tren kenaikan, penjualan ritel bergerak positif, dan suku bunga pasar uang antarbank relatif melonggar. Akan tetapi, indikator yang paling krusial dalam konteks pemulihan, yakni pertumbuhan kredit perbankan, masih bergerak tertatih.
Dunia usaha belum sepenuhnya menunjukkan keberanian untuk berekspansi. Sikap wait and see masih mendominasi, dipicu oleh ketidakpastian global, tekanan biaya produksi, serta daya beli masyarakat yang belum pulih secara kuat dan merata.
Kondisi tersebut berdampak langsung pada pemanfaatan dana SAL yang ditempatkan di Himbara. Alih-alih mengalir deras ke sektor produktif, dana tersebut justru lebih banyak “parkir” di Surat Berharga Negara (SBN), sehingga memperbesar portofolio investasi bank.
Fenomena undisbursed loan yang masih tinggi mengindikasikan bahwa persoalan utama bukan semata ketersediaan likuiditas, melainkan lemahnya permintaan kredit yang benar-benar berkualitas.
Ironisnya, di tengah dorongan pemerintah agar perbankan lebih agresif menyalurkan kredit, suku bunga kredit baru justru cenderung meningkat. Hal ini mencerminkan bahwa persepsi risiko di mata perbankan belum sepenuhnya menurun.
Di titik inilah dilema perbankan menjadi semakin nyata. Tekanan untuk mempercepat penyaluran kredit di tengah sektor riil yang masih rapuh berpotensi mendorong bank melonggarkan standar pembiayaan.
Langkah tersebut tentu mengandung risiko terhadap kualitas aset dan stabilitas sistem keuangan. Pengalaman krisis di masa lalu menjadi pengingat penting bahwa pertumbuhan kredit yang terlalu cepat tanpa fondasi sektor riil yang kuat hanya akan menunda masalah, bukan menyelesaikannya.
Risiko kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) dapat berubah menjadi bom waktu apabila ekspansi kredit tidak diiringi perbaikan fundamental ekonomi.
Pada akhirnya, kebijakan fiskal dan moneter tidak dapat berjalan secara terpisah. Penempatan dana publik dalam jumlah besar di perbankan harus disertai dengan kebijakan komplementer yang menyentuh akar persoalan sektor riil, seperti peningkatan kepastian usaha, pemberian insentif investasi yang tepat sasaran, perbaikan iklim ketenagakerjaan, serta penguatan daya beli masyarakat.
Tanpa upaya tersebut, likuiditas hanya akan berputar di sektor keuangan, mempercantik neraca bank, tetapi minim dampak nyata bagi perekonomian riil.
Sorotan Bloomberg Businessweek Indonesia edisi Desember 2025 menjadi pengingat bahwa pemulihan ekonomi tidak bisa dipercepat hanya dengan mengandalkan instrumen keuangan.
Diperlukan orkestrasi kebijakan yang lebih terintegrasi antara fiskal, moneter, dan sektor riil. Rp200 triliun merupakan amunisi besar, tetapi tanpa sasaran yang tepat, ia berisiko menjadi angka spektakuler yang dampaknya terasa samar.
Tantangan ke depan bukan sekadar mendorong kredit, melainkan memastikan bahwa kredit tersebut benar-benar produktif, berkelanjutan, dan mampu menggerakkan roda ekonomi secara sehat. (Mf).