Sehat Setengah Hati..?

Spektroom - Dr.dr. Ray Wagiu Basrowi seorang dokter, peneliti, praktisi dibidang kedokteran kerja melakukan penelitian kesehatan komunitas menggarisbawahi bahwa manusia adalah makhluk yang penuh ironi.
Wagiu Basrowi mengumpamakan, ibarat merawat kendaraan dengan ketelitian luar biasa sementara tubuh yang merupakan rumah satu-satunya yang benar-benar kita tinggali dibiarkan bekerja tanpa jeda bahkan diekploitasi.
Sehat setengah hati merupakan refleksi tajam bagaimana kita memperlakukan tubuh walaupun sadar akan pentingnya kesehatan tetapi tetap menunda untuk bertindak seolah-olah waktu dan daya tahan tubuh adalah sumber daya yang tak akan habis.
Nilai sejati kesehatan adalah kebebasan yang diberikan oleh sehat itu sendiri. Mengutip pendapat Socrates
"kesehatan bukanlah segalanya tetapi tanpa kesehatan segalanya bukanlah apa-apa."
Kutipan ini mengingatkan kita bahwa sehat itu sebenarnya sederhana dimulai dari keyakinan bahwa ada ancaman nyata baik kesehatan maupun kualitas hidup jika diabaikan.
Keyakinan terhadap perubahan kecil seperti makan dengan benar atau rutin berolahraga akan memberikan manfaat yang nyata. Sederhananya menjalani hidup sehat tidaklah rumit yaitu bagaimana kita percaya dan bertindak atas kepercayaan itu.
Dari kacamata psikologis perilaku kesehatan seseorang dengan berfokus pada keyakinan dan sikap individu tersebut dikenal dengan konsep Health believe model.
Keyakinan individu inilah yang menjadi indikator apakah yang bersangkutan sudah termotivasi atau belum karena masih merasa yakin belum rentan terhadap dampak atas pola hidup yang tidak sehat.
Keyakinan ini dipicu oleh persepsi kerentanan, keparahan, manfaat, dan hambatan. Dr.dr. Ray menjelaskan bahwa pemahaman yang dipengaruhi oleh persepsi inilah menyebabkan seseorang tidak meyakini apakah dirinya juga rentan menderita penyakit yang dialami oleh orang tuanya atau keluarganya semisal penyakit diabetes.
Lebih jauh Dr. dr Ray mengatakan kebanyakan masyarakat cenderung berfikir kalau tidak sakit ngapain peduli bahkan dalam beberapa setting budaya di tanah air ada kepercayaan bahwa kesehatan dan penyakit adalah takdir sesuatu yang tak bisa dihindari.
Sikap ini seringkali membuat orang enggan melakukan pencegahan atau perubahan gaya hidup yang sekaligus menandai kurangnya edukasi dan rendahnya literasi kesehatan hingga dimaknakan jika penyakit tidak berdampak pada hidup maka cenderung tidak termotivasi untuk melakukan pencegahan.
Sementara Prof. Dr. dr. Nila F. Moeloek Menteri Kesehatan Republik Indonesia 2014-2019 juga membenarkan apa yang menjadi fokus uraian dalam buku
"Sehat Setengah Hati" yang ditulis oleh Ray Basrowi sebagai buktinya ketika asisten rumah tangganya pernah ditawari untuk medical check up namun tidak direspon karena mereka tidak meyakini akan resiko yang fatal bisa menimpa diri mereka.
Selain itu, gaya hidup dilingkaran pergaulan juga mempengaruhi pola kesadaran untuk melakukan kegiatan hidup sehat.
Nila Moeloek mencontohkan bahwa setiap individu dikalangan komunitas akan memberi inspirasi untuk bersama-sama misalnya melakukan olah raga namun jika tidak ada salah seorang diantara mereka yang melakukan maka biasanya anggota lainnya dalam komunitas itu juga demikian walaupun menyadari perlu menjalankan pola hidup sehat dengan berolahraga.
Begitu pula sebaliknya, walaupun dengan kebahagiaan sesaat menikmati hidup dengan makan berlebihan lemak, gula dengan alasan sekali-sekali bersama komunitas demi menjaga konsistensi jati diri sebagai anggota komunitas yang mengikuti trending life style walaupun memiliki resiko terhadap kesehatannya tetap dilaksanakan.
Dalam sesi tanya jawab dengan audiens yang hadir di Grand Indonesia tempat diselenggarakannya kegiatan peluncuran buku sehat setengah hati, disimpulkan bahwa diperlukan efikasi diri (Self effication) demi mendorong terbangunnya kepercayaan diri untuk sehat.
Seberapa besar keyakinan seseorang akan kemampuannya untuk mengubah diri bukan semata-mata karena gaya hidup adalah kunci utama keberhasilan dalam merawat diri.
Apalagi di perkotaan yang cenderung terjadi tekanan ekonomi, tekanan psikologis dari lingkaran keluarga dan teman-teman yang kurang berempati atas ketidakmampuan seseorang saat beraktivitas atau melakukan pekerjaan.
"Sehingga secara psikologis mendorong seseorang tersebut bisa mengalami gangguan tekanan mental (skizofrenia) karena perundungan (bullying)."
Untuk efikasi diri diharapkan adanya kolaborasi invidu dalam lingkaran mata rantai komunitas yang secara bersama saling menyadarkan untuk melakukan pola hidup sehat.
Memiliki efikasi diri berarti menyadari bahwa tindakan sederhana walaupun kecil akan membawa perubahan besar dalam menjaga kesehatan diri kita.
Mimimal dengan efikasi diri kita bisa mengubah pola pikir dari "saya cuma satu orang" menjadi "saya adalah satu orang yang bisa melindungi diri." Menyadari tentang kesehatan kita bukanlah sesuatu yang bisa ditawar dengan kenyamanan atau gaya hidup sementara. (HrAd).