Amnesti yang Ditolak: Hukum, Jabatan, dan Efek Jera
Opini: Zul Khaidir Kadir, SH., M.H. Dosen Fakultas Hukum UMI-dilaporkan M. Yahya Patta

Spektroom - Kasus Immanuel Ebenezer berakhir dengan penolakan amnesti. Presiden tidak mau tanda tangan. Selesai. Tapi publik masih ramai membicarakannya. Bolehkah koruptor dapat amnesti?
Konstitusi memang memberi Presiden hak prerogatif. UUD 1945 Pasal 14. Ditambah UU Nomor 22 Tahun 2002. Tapi amnesti bukan sembarangan. Ia lahir untuk kasus politik besar, pemberontakan, konflik sosial, atau demi rekonsiliasi bangsa. Bukan untuk kasus korupsi. Bukan untuk urusan sertifikat K3.
Hukum acara pidana juga jelas. Begitu putusan inkracht, jaksa harus eksekusi. Amnesti tidak menghentikan penyidikan. Tidak juga menunda penuntutan. Jadi penolakan Presiden sebenarnya sudah sesuai hukum. Sesuai due process. Kalau sampai dikabulkan, malah jadi preseden buruk bahwa hukum bisa dilobi lewat jalur politik.
Ada lagi soal efek jera. Dalam ilmu pemidanaan, teori pencegahan deterrence menyebut hukuman harus memberi rasa takut. Dua macam: general deterrence dan specific deterrence. Yang pertama, untuk orang lain: jangan coba-coba korupsi. Yang kedua, untuk pelaku: jangan ulangi lagi. Kalau amnesti diberikan, dua-duanya hilang. Pesan yang sampai ke publik bahwa kedekatan dengan kekuasaan bisa jadi tiket keluar dari jerat hukum.
Presiden akhirnya menolak. Itu sinyal baik. Bahwa hak prerogatif tidak dipakai sembarangan. Hukum tetap jalan. Korupsi tetap dianggap kejahatan serius, bukan sekadar salah urus administrasi.
Dari luar negeri kita bisa belajar. Spanyol pakai amnesti untuk meredakan separatisme. Afrika Selatan memakainya demi rekonsiliasi pasca-apartheid. Tidak ada yang berani memakainya untuk kasus korupsi. Kenapa? Karena korupsi bukan soal politik identitas. Ia soal merampas kepercayaan publik.
Maka Indonesia pun harus tegas. Amnesti tetap jadi instrumen luar biasa. Tidak untuk dipakai menutup kasus luar biasa jahat seperti korupsi. Kalau tidak, kita akan kehilangan dua hal sekaligus, yakni martabat amnesti, dan wibawa hukum.
(Zul Khaidir Kadir, S.H., M.H. - Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum UMI)