Bandara di Morowali : Otoritas Negara Dimana?

Bandara di Morowali : Otoritas Negara Dimana?

Oleh : Syamsunie Carsel HR - Akademisi

Spektroom - Morowali tumbuh seperti rudal : industri nikel meledak, infrastruktur berdiri kilat, termasuk sebuah bandara yang konon menjadi tulang punggung mobilitas kawasan industri.

Tetapi, di tengah denting optimisme itu, ada alarm yang terus berdengung : negara tampak lumpuh di salah satu ruang paling strategis, ruang udara.

Bandara bukan ruko yang bisa buka tanpa izin lingkungan dia adalah gerbang kedaulatan, pos pemeriksaan keselamatan, dan simpul keamanan nasional.

Namun kasus Bandara Industrial Morowali Park (IMP) memperlihatkan sesuatu yang jauh lebih mengerikan dari sekadar “pengawasan yang belum optimal.” Ini adalah vakuum kekuasaan.

Bandara beroperasi, tetapi negara seperti penonton di kandang sendiri, tanpa instrumen kontrol imigrasi, bea–cukai, pemeriksaan manifest barang, hingga inspeksi standar keamanan.

Sunyi. Kosong. Tanpa jejak.

Narasi bahwa “bandara ini hanya melayani industri” tidak bisa menjadi tameng. Justru karena dia adalah irisan dari industri strategis, negara wajib berdiri paling depan, bukan paling belakang.

Ketika pelabuhan udara tidak berada dalam radar kontrol negara, itu bukan efisiensi.

Itu adalah keteledoran epistemik tentang kedaulatan, seakan ruang udara boleh didelegasikan, dipinjamkan, atau dikosongkan demi akselerasi investasi.

Kita sedang membahas langit, bukan lapak. Dan dalam negara berdaulat, tidak ada istilah langit swasta.

Ada pertanyaan yang lebih gelap: jika negara tidak hadir di pintu masuk udara Morowali, apa jaminan keamanan nasional terhadap mobilitas orang, barang, dan material berbahaya?

Bagaimana negara memastikan tak ada ancaman yang terbang melewati prosedur formalnya sendiri? Apakah kita sedang menormalisasi model pembangunan baru, di mana modal lebih berdaulat dari negara, dan birokrasi hanya menjadi stempel izin, bukan pengawas lapangan?

Jika ya, maka Morowali bukan pengecualian. Ia adalah preseden berbahaya.

Hari ini bandara lepas dari radar pengawasan. Esok, jika negara terus gagap, kita hanya tinggal menunggu wilayah strategis lain yang dikelola, diatur, dan diawasi oleh entitas di luar negara.

Dan saat itu terjadi, jangan terkejut ketika publik mulai bertanya bukan lagi, “kenapa negara tidak hadir?” tetapi, “apa fungsi negara dalam pembangunan ini?”

Kedaulatan tidak runtuh dalam sehari. Dia roboh ketika kita membiarkan kekosongan peran negara dianggap wajar.

Morowali boleh menjadi episentrum industri. Tetapi tidak boleh menjadi lubang hitam kedaulatan. Langit Sulawesi Tengah adalah langit Republik ini.

Dan tanggung jawab menjaganya tidak bisa di-outsourcing, tidak boleh diwakilkan, dan tidak boleh dikosongkan.

Karena ketika negara menyerah di langitnya sendiri—maka sesungguhnya menyerah sebagai negara. (**).

Berita terkait