Catatan Diskusi Buku, Demang Lehman Gerakan Berbasis Rakyat

Catatan Diskusi Buku, Demang Lehman Gerakan Berbasis Rakyat
Suasana Diskusi Buku Demang Lehman Gerakan Berbasis Rakyat

Reporter : Junaidi

Editor : Agung Yunianto

Suasana Diskusi Buku Demang Lehman Gerakan Berbasis Rakyat

Spektroom - Sebuah buku baru berisi sejarah tokoh lokal, pejuang pemberani yang dikenang sepanjang masa, Demang Lehman. Ditulis Sejarawan Muda, Mursalin dan Mansyur. Buku ini didiskusikan di Forum bulanan Gramedia Veteran, kerjasama Rumah Alam Sungai Andai, Ambin Demokrasi, LK3 Banjarmasin, Kampung Buku, dan Dispersib Kota Banjarmasin, Sabtu 6 September 2025.

Didaulat sebagai Narasumber, antara lain Para Penulis Buku, Mursalin dan Mansyur; Seorang Akademisi yang juga Pengamat Sejarah Lokal, Ahmad Muhajir; dan Seorang Aktivis Pergerakan, Berry Nahdian Furqon.

Buku ini bagian dari epik sejarah panjang perang Banjar yang terjadi pada tahun 1859 hingga 1864. Suatu peperangan yang begitu lama, menelan banyak jiwa. Karenanya Mursalin dan Mansyur menggambarkan buku ini sebagai lukisan perjuangan Panglima Perang Banjar.

“Tokoh ini sangat fenomenal, kepalanya dibawa ke Belanda sebagai bukti bahwa ia berhasil dikalahkan. Menggambarkan begitu berharganya orang ini. Dan tidak semua pejuang yang mati terbunuh atau dibunuh di tiang gantungan, kepalanya diabadikan pada museum. Demang Lehman ceritanya dikisahkan dari generasi ke generasi, sebagai pembelajaran bahwa orang Banjar sangatlah berani. Berani mati mengorbankan jiwa raga melawan penjajahan”, kata Noorhalis Majid, selaku moderator diskusi.

Mursalin kemudian mengawali cerita tentang keberanian tiga orang pengikut setia Hidayatullah, pangeran Banjar yang kedudukan dan tahtanya diambil Belanda. Tiga orang tersebut antara lain Demang Lehman, Penghulu Rasyid, dan Mangun Yuda. Ketiga orang tersebut kepalanya dipenggal, dibawa ke Belanda.

Demang Lehman salah satunya yang sangat fenomenal, karena tidak pernah hilang ketokohan dan kepahlawanannya di tengah masyarakat Banjar. Sosoknya diceritakan dari generasi ke generasi.

Perang Banjar tidak seperti perang-perang yang digambarkan dalam film-film. Perang Banjar tersebut adalah “perang bubuhan”. Perang yang hanya melibatkan para bubuhan, digerakkan oleh seorang tokoh dari bubuhan tersebut. Bukan perang sebagaimana lazimnya. Buktinya tidak ada tempat atau daerah yang dianggap sebagai lokasi produksi senjata. Kalau pun ada Nagara di Hulu Sungai Selatan, tempat pengrajin senjata, tapi tidak pernah dikisahkan sebagai tempat untuk memproduksi senjata bagi kebutuhan perang.

Loyalitas bubuhan disatukan oleh seorang yang dianggap paling berani. Bubuhan itu adalah struktur dalam masyarakat Banjar yang memiliki satuan ikatan pemukiman. Misal, bubuhan Hulu Sungai, bubuhan Batang Banyu, dan lain-lain, yang menggambarkan wilayah pemukiman dimana para bubuhan tersebut bermukim.

Perang Banjar itu menampilkan banyak Tokoh yang memiliki wibawa dan mampu menggerakkan Warganya. Demang Lehman, seorang berperawakan halus tapi mahing. Dia juga seorang ahli agama. Selalu membawa tasbih. Bahkan Beliau mampu membuat wafak, satu kearifan tentang membuat ajimat dari ayat-ayat Al Qur’an. Menggambarkan kealiman beliau dalam ilmu agama. Kesaksian Jaya Pemenang, seorang tokoh Banjar yang mengingat beliau dari cerita leluhurnya, bahwa Demang Lehman tersebut selalu bisa melarikan diri bila dikepung, dikejar Belanda. Meratus adalah kawasan persembunyian beliau. Kampung-kampung di Meratus, menjadi wadah konsolidasi gerakan perlawanan, Kata Mursalin.

Sementara itu Mansyur, mengatakan, Demang Lehman memilih cara kematian yang berbeda dibandingkan tokoh-tokoh pejuang lainnya. Semua tokoh pejuang mati atau gugur, tapi Demang Lehman memilih mati di tiang gantungan pada 27 Februari 1864. Bukti bahwa dia tidak mau menyerah. Meninggal, digantung di tengah kota Banjarmasin. Kepalanya dibawa, dikoleksi dan disimpan pada Museum Anatomi Balanda. Kematian seperti itulah yang dipilih Demang Lehman.

Memang sangat minim data menyangkut ketokohan Demang Lehman, sebab Beliau hanya dari kalangan Jaba, kemudian menjadi Lalawangan, suatu jabatan dibawah Pembakal, kata Mansyur.

Namanya Soelehman atau Lehman, dia mengabdi kepada Hidayatullah. Membersamai perjuangan Hidayatullah melawan Belanda. Kisah penangkapannya sangat menarik, ada cerita mistis dan ada kisah penghianatan. Ia bersedia difoto saat menjelang vonis di tiang gantungan, terjadi di awal Ramadhan, 27 Februari 1864. Bahkan orang tidak tahu wajah Demang Lehman. Orang hanya tahu namanya. Tersohor dalam pergerakan melawan Belanda. Hanya sedikit yang kenal wajahnya. Karenanya sebelum divonis, dicari orang yang tahu dan mengenal wajah Demang Lehman. Dia memilih dihukum mati di Banjarmasin, bukan di Martapura.

Sebelumnya tidak ada yang tahu apakah kepalanya dibawa atau dikubur. Baru setelah ada jurnal yang terbit tahun 1930, yang memuat tentang 3 tengkorak orang Banjar di Museum Anatomi Belanda, ditulis oleh Arthur Japin, seorang penulis novel, barulah diketahui bahwa ternyata benar tengkorak kepala Demang Lehman dibawa ke Belanda.

Kepala tersebut sebagai bukti Belanda menang terhadap pemberontak. Boleh jadi kepala tersebut dijadikan bahan penelitian tentang kepala. Satu dominasi tentang ras, bahwa ras terkuat itu adalah mereka – Bangsa Eropa.

Harga kepala Demang Lehman dibayar kepada seorang penghianat bernama Syarif Hamid, yang mendapat imbalan karena membantu menangkap Demang Lehman, berupa wilayah atau kawasan bernama Batulicin. Syarif Hamid karena memiliki kawasan yang sangat luas, kemudian menjadi Raja Batulicin.

Saat eksekusi tidak dihadiri oleh keluarganya, bahkan Belanda tidak pernah memberikan laporan kepada pihak keluarga. Tidak banyak catatan menyangkut peristiwa ini. Termasuk kenapa setelah digantung kepalanya harus dipotong dan dibawa ke Belanda. Mungkin Belanda tidak mau membayar ganti rugi kalau suatu waktu dituntut oleh pihak keluarga.

Ahmad Muhajir, mengatakan perlawanan Demang Lehman ini suatu gambaran tentang perjuangan menjaga identitas, dalam hal ini tentu saja menyangkut identitas Etnis Banjar dan Agama. Keduanya hampir tidak dapat dipisahkan. Perlawanan Banjar yang Islam, adalah perlawanan terhadap bangsa penjajah yang kafir. Dua identitas yang kala itu tidak dapat dipisahkan. Bahkan hingga sekarang, Banjar itu adalah Islam, karenanya sangat sulit mencari orang Banjar yang bukan Islam.

Ada dua strategi Belanda yang lajim diberlakukan kepada lawan-lawannya; pertama adalah kooptasi dan yang kedua adalah konfrontasi. Terhadap Demang Lehmah, upaya Belanda terjadi konfrontasi, sehingga dia buru, dicari hingga dapat. Penghianatan adalah satu cerita yang selalu diingat, bahwa Demang Lehman tertangkap oleh Belanda karena adanya penghianatan.

Dalam diri Demang Lehman tergambar kepemimpinan yang kharismatik. Bukankah beliau hanya dari kalangan jaba. Kalau bukan karena kharismatik, tidak mungkin bisa menggerakkan warganya yang disebut dengan bubuhan tadi untuk juga melakukan perlawanan kepada Belanda.

Memori kita terkait Demang Lehman sangat terbatas. Memori dapat diabadikan melalui tulisan. Buku ini mencoba untuk memperpanjang memori kita semua, terutama warga Banjar, tentang tokoh kharismatik yang mengorbankan dirinya di tiang gantungan.

Penamaan atas suatu tempat, seperti halnya dilakukan Pemkab Banjar dengan memberikan nama stadion olahraganya dengan nama Demang Lehman, adalah satu bentuk politik memori, agar satu peristiwa atau tokoh dapat dikenang lebih abadi, kata Muhajir.

Sementara itu Narasumber terakhir Berry Nahdian Furqon, mengatakan, cerita Demang Lehman merupakan cerita gerakan perlawanan kolonialisme. Waktu itu Kerajaan Banjar keberadaannya dicampuri oleh Belanda, sehingga terjadi konflik. Terjadi delegitimasi politik, peran Sultan Banjar dianggap tidak ada. Memang dalam perang Banjar tidak tergambar adanya jumlah pasukan yang besar. Yang ada hanyalah perjuangan kelompok, laskar yang diikat dengan satu kesatuan yang disebut dengan bubuhan.

Dalam banyak kasus gerakan sosial, peralihan politik selalu melahirkan perlawanan. Perspektif sosial, terjadi mobilisasi sumber daya dari kampung-kampung di Pegunungan Meratus. Mulai Kotabaru wilayah pesisir sampai di gunung-gunung. Juga mobilisasi logistik. Perjuangan jihad melawan kafir penjajah. Jihad dan harga diri, itulah yang mengobarkan semangat Demang Lehman. Kenapa ia harus melawan Belanda? Karena ia melihat ketidakadilan di depan mata.

Posisi pegunungan Meratus yang telah menjadi arena perlawanan, mestinya menjadi motivasi dan semangat untuk terus menjaga kawasan pegunungan Meratus. Menjaga Meratus, berarti juga menjaga sejarah, agar tetap lestari sebagai satu kawasan pergerakan perjuangan.

Para Peserta Diskusi yang jumlahnya lebih dari 40 orang dan lebih banyak mahasiswa, mengajukan berbagai tanggapan dan pertanyaan. Zainal, seorang mahasiswa sejarah FKIP ULM, bertanya tentang kenapa pada saat eksekusi di tiang gantungan pihak keluarga dari Demang Lehman tidak ada yang datang, atau atau minimal ada yang mengakui sebagai keluarga. Kalau ada yang menyaksikan, tentu menjadi catatan tersendiri bagi pihak keluarga.

Sementara itu Rehan, Mahasiswa lainnya, menanyakan kenapa cerita yang begitu heroik menyangkut Tokoh Demang Lehman, tidak diceritakan pada buku-buku sejarah di sekolah? Apa kepentingan politik hingga tidak pernah diceritakan dalam buku sejarah?

Taufik Arbain, Tokoh Budaya, memberikan tanggapan dan mengakui bahwa walaupun miskin catatan sejarah, namun kharisma Demang Lehman begitu kuat di tengah masyarakat. Ia dikenal memiliki kemampuan dalam melawan. Dia berada di ring satu kekuasaan Hidayatullah. Dia memiliki relasi yang sangat kuat dengan Pangeran Antasari, tokoh perjuangan yang sepanjang hidupnya terus melawan Belanda. Daerah-daerah di Pengunungan Meratus, antara lain Paramasan dan lain sebagainya, menjadi saksi perjuangan Demang Lehman.

Sementara itu, penanggap lainnya Zainal Abidin, seorang pengamat sejarah, khawatir kalau cerita penghianatan Syarif Hamid, dijadikan untuk mengeneralisasi satu kelompok atau komunitas sebagai bagian dari penghianat, sehingga hilang penghormatan kepada siapapun dari kelompok tersebut, padahal tidak semuanya sebagai penghianat.

Mursalin memberikan tanggapan balik, bahwa ingatan orang Martapura pada Demang Lehman begitu kuat. Azim Ariadi, bahkan menulis naskah drama yang mencukil beberapa ucapan Demang Lehman, dan ucapan atau petuah tersebut didapat dari memori orang Martapura yang tidak pernah lupa terhadap Demang Lehmah. Pun Atum Artha, seorang tokoh pers dari Martapura, mengutarakan berbagai ucapan Demang Lehman yang kemudian menjadi slogan dan motivasi dalam perlawanan orang Banjar.

Pelajaran sejarah mestinya bebas dikembangkan dengan memuat sejarah lokal, agar masyarakat tidak kehilangan identitas kelokalannya, yang menjadi bagian dari Indonesia.

Berbagai wilayah perjuangan di kawasan Pegunungan Meratus, dapat menjadi napak tilas sejarah untuk mengenang Demang Lehman.

Sejarah penghianatan selalu saja ada, bukan hanya Syarif Hamid, tapi Tumenggung Gamar yang telah diberikan kekuasaan sebagai Tumenggung juga berkhianat. Sebabnya karena silau pada jabatan Regen Martapura. Sebaliknya, penghianatan yang telah dilakukan pada Demang Lehman, justru dipakai untuk menarik simpatik warga lainnya untuk membantu perjuangan melawan Belanda.

“Menulis dan membaca sejarah sangatlah penting. Sukarno mengatakan, belajar sejarah itu seperti menarik anak panah. Semakin kuat dan dalam kita menariknya, maka anak panah akan melesat jauh kedepan. Artinya semakin kita mendalam dan jauh dalam melihat sejarah, maka kita akan dapat menjawab segala persoalan masa depan. Bila kemampuan kita menarik anak panah tidak terlalu kuat, yang berarti kurang membaca dan mempelajari sejarah, maka sulit pula bagi kita menjawab tantangan masa depan”, kata Noorhalis Majid, mengakhiri diskusi yang begitu seru sore itu.



Berita terkait