Eksekusi Putusan Inkracht dalam Hukum Acara Pidana: Pelajaran dari Kasus Silfester Matutina

Opini Zul Khaidir Kadir S.H., M.H. Dosen Hukum Pidana Fak. Hukum Universitas Muslim Indonesia. Dilaporkan M. Yahya Patta

Eksekusi Putusan Inkracht dalam Hukum Acara Pidana: Pelajaran dari Kasus Silfester Matutina
Zul Khaidir Kadir S.H., M.H. Dosen Hukum Pidana Fak. Hukum Universitas Muslim Indonesia UMI Makassar

Spektroom - Kasus Silfester Matutina yang divonis 1,5 tahun penjara dalam perkara pencemaran nama baik Jusuf Kalla merefleksikan salah satu persoalan mendasar dalam praktik hukum acara pidana, yakni eksekusi putusan pengadilan yang sudah inkracht tetapi tidak segera dijalankan. Secara normatif, Pasal 270 KUHAP menegaskan bahwa pelaksanaan putusan pengadilan dilakukan oleh jaksa setelah memperoleh salinan putusan. Artinya, begitu putusan berkekuatan hukum tetap, kewajiban jaksa adalah mengeksekusi tanpa harus menunggu proses hukum lanjutan seperti Peninjauan Kembali (PK).

Prinsip ini ditegaskan pula dalam doktrin hukum acara pidana, bahwa PK tidak menangguhkan eksekusi. Putusan Mahkamah Agung Nomor 140 PK/Pid/2004 misalnya, menegaskan eksekusi tetap berjalan meskipun permohonan PK sedang diperiksa. Dengan demikian, mandeknya eksekusi selama enam tahun dalam kasus Silfester sulit dijustifikasi secara yuridis. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius tentang konsistensi penerapan asas kepastian hukum dan persamaan di hadapan hukum (equality before the law).

Dari perspektif hukum acara pidana, kondisi ini berpotensi merusak kredibilitas lembaga penegak hukum. Ketika seorang terpidana masih bebas meski putusannya sudah final, publik dapat menilai bahwa hukum dapat ditawar sesuai posisi atau jaringan seseorang. Oleh karena itu, solusi yang harus ditempuh adalah mempertegas aturan eksekusi dalam KUHAP baru atau melalui Surat Edaran Jaksa Agung, sehingga tidak ada lagi multi tafsir terkait hubungan antara PK dan eksekusi.

Selain itu, perlu dibangun mekanisme kontrol eksternal terhadap kejaksaan dalam hal pelaksanaan eksekusi. Selama ini, pengawasan hanya bersifat internal, sehingga rentan terhadap kelambanan atau bahkan pembiaran. Ombudsman, Komisi Kejaksaan, atau lembaga independen lainnya dapat diberi mandat lebih kuat untuk memastikan setiap putusan inkracht dieksekusi tepat waktu.

Kasus Silfester Matutina memberi pelajaran penting. Tanpa eksekusi yang konsisten, seluruh proses peradilan kehilangan makna. Kepastian hukum tidak berhenti pada vonis hakim, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata oleh jaksa sebagai eksekutor. Ke depan, perbaikan regulasi dan penguatan mekanisme pengawasan menjadi kunci agar hukum acara pidana benar-benar berfungsi sebagai instrumen keadilan, bukan sekadar teks normatif. (Zul Khaidir Kadir, S.H., M.H. - Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum UMI)

Berita terkait

Pelindo Regional 2 Pontianak Raih Penghargaan BUMN Terbaik Lewat Program Carbon Village 2025

Pelindo Regional 2 Pontianak Raih Penghargaan BUMN Terbaik Lewat Program Carbon Village 2025

Spektroom – Pelindo Regional 2 Pontianak kembali menorehkan prestasi membanggakan dengan meraih penghargaan sebagai BUMN Terbaik dalam Menginisiasi Program Carbon Village 2025. Penghargaan ini diserahkan dalam ajang Tribun Award Jumat malam kemarin, yang turut dihadiri oleh Gubernur Kalimantan Barat, diwakili Sekda, Harisson, Perwakilan BUMN, Instansi Pemerintah, hingga Komunitas Lingkungan. General Manager

Apolonius welly