Kepastian Hukum Dalam Mekanisme Impor Serta Keberpihakan Negara Terhadap Daya Saing Industri dan UMKM Domestik

Opini Prof. Dr. H. Mahfud Nurnajamuddin, SE., MM, Guru Besar FEB Universitas Muslim Indonesia UMI Makassar Disampaikan N. Yahya Patta

Kepastian Hukum Dalam Mekanisme Impor Serta Keberpihakan Negara Terhadap Daya Saing Industri dan UMKM Domestik
Prof. Dr. H. Mahfud Nurnajamuddin, SE., MM, Guru Besar FEB Universitas Muslim Indonesia UMI Makassar

Spektroom - Pernyataan tegas Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang menolak melegalkan penjualan baju bekas impor atau thrifting, meskipun para pedagangnya membayar pajak, kembali membuka diskusi penting tentang arah perlindungan ekonomi nasional. Dengan lugas, Menkeu menyatakan, “Saya gak peduli sama pedagangnya. Pokoknya barang masuk ilegal, saya berhentiin.” (Liputan 6). Sikap ini menyoroti dua isu krusial: kepastian hukum dalam mekanisme impor, serta keberpihakan negara terhadap daya saing industri dan UMKM domestik.

Pertama, dari perspektif regulasi, posisi pemerintah sebenarnya konsisten. Impor pakaian bekas bertentangan dengan aturan yang telah ada, terutama karena dapat menimbulkan risiko kesehatan, menekan industri tekstil dalam negeri, dan membuka celah penyelundupan. Melonggarkan aturan hanya karena ada desakan pedagang bukanlah solusi. Negara harus berdiri pada prinsip bahwa legalitas impor bukan sekadar persoalan pungutan pajak, melainkan soal kepatuhan barang terhadap standar dan mekanisme perizinan yang sah.

Kedua, kekhawatiran pemerintah terhadap dominasi barang impor di pasar domestik patut mendapatkan perhatian serius. Ketika Menkeu mengatakan, “Kalau pasar domestiknya dikuasai barang asing, apa untungnya buat pengusaha domestik?”, ia sejatinya menyoroti tantangan besar industri tekstil nasional: kesenjangan kualitas, konsistensi produksi, dan kemampuan memenuhi permintaan pasar yang semakin dinamis. Kehadiran pakaian bekas impor dengan harga sangat murah tentu menekan produsen lokal yang harus mengikuti biaya produksi dan standar ketenagakerjaan di dalam negeri. Jika dibiarkan, ekosistem UMKM fesyen dan industri tekstil justru semakin terpinggirkan.

Namun, di sisi lain, tidak bisa diabaikan bahwa pedagang thrifting juga merupakan bagian dari UMKM yang menggantungkan mata pencahariannya pada pasar tersebut. Ketika mereka mendatangi DPR dan meminta legalisasi, itu menunjukkan kebutuhan akan kepastian usaha. Pemerintah tidak cukup hanya menutup pintu impor ilegal; dibutuhkan kebijakan transisi yang adil (just transition) agar para pelaku usaha thrifting tidak tiba-tiba kehilangan penghidupan.

Solusinya bukan dengan melegalkan impor pakaian bekas, melainkan mengarahkan energi kewirausahaan para pedagang thrifting ke sektor yang lebih sehat dan legal. Menkeu telah mendorong pedagang untuk beralih ke produk lokal yang kualitasnya semakin membaik. Ini bisa menjadi momentum bagi pemerintah untuk memperkuat rantai pasok fesyen lokal melalui pelatihan, pembiayaan, pemasaran digital, hingga kurasi produk agar tidak kalah dari barang impor. Pendek kata, keberpihakan pada UMKM lokal bukan hanya berupa larangan, tetapi juga dukungan yang menyeluruh.

Pada akhirnya, isu thrifting bukan sekadar tentang pakaian bekas. Ini tentang bagaimana negara menata ulang ekosistem perdagangan agar tetap adil, kompetitif, dan berpihak pada industri nasional tanpa merugikan masyarakat yang menggantungkan hidup pada sektor informal. Pemerintah perlu memperkuat regulasi, tetapi juga menyediakan jembatan bagi pedagang untuk bertransformasi. Perlindungan pasar domestik tidak boleh menjadi tembok yang menutup rezeki warga, tetapi harus menjadi fondasi untuk menghadirkan industri lokal yang lebih kuat, kompetitif, dan berkelanjutan.

Jika langkah kebijakan dapat diarahkan pada dua pilar utama, yaitu penegakan hukum impor dan penguatan UMKM local, maka keputusan Menkeu bukan hanya sekadar pelarangan, tetapi strategi besar menjaga daya saing ekonomi bangsa.- (Mf)

Berita terkait