Ketimpangan Tukin: Mengapa Dosen Swasta Selalu Jadi Warga Kelas Dua?

Opini oleh: Prof. Dr. H. Mahfud Nurnajamuddin, SE., MM, Guru Besar FEB UMI Makassar, disampaikan M. Yahya Patta

Ketimpangan Tukin: Mengapa Dosen Swasta Selalu Jadi Warga Kelas Dua?
Prof. Dr. H. Mahfud Nurnajamuddin, SE., MM, Guru Besar FEB Universitas Muslim Indonesia UMI Makassar

Spektroom - Di tengah ambisi besar pemerintah untuk memperkuat daya saing pendidikan tinggi dan menyiapkan generasi emas 2045, ada satu ironi yang dibiarkan berlarut-larut: ketimpangan tunjangan kinerja (tukin) antara dosen negeri dan dosen swasta. Dalam satu ekosistem pendidikan nasional, negara memperlakukan dosen negeri sebagai penerima perhatian penuh, sementara dosen swasta berada di pinggiran, padahal keduanya memikul beban tridarma yang sama beratnya.

Situasi ini semakin memprihatinkan jika melihat fakta bahwa lebih dari 70% mahasiswa Indonesia berada di perguruan tinggi swasta. Artinya, masa depan kualitas sumber daya manusia Indonesia sangat ditentukan oleh kinerja para dosen swasta. Namun ironisnya, negara sepertinya lupa bahwa mayoritas mahasiswa dididik oleh kelompok dosen yang tidak mendapat dukungan anggaran langsung dalam bentuk tukin. Dengan kata lain, negara ingin pendidikan tinggi kuat, tetapi hanya memberikan “bahan bakar” kepada sebagian kecil mesinnya.

Dosen swasta menjalankan seluruh tuntutan tridarma berupa mengajar, meneliti, melakukan publikasi ilmiah, memberikan pengabdian masyarakat tanpa satu pun pembedaan standar dari negara. Undang-undang tidak pernah menyebut bahwa beban dosen swasta lebih ringan. Namun, ketika menyangkut dukungan finansial, terjadi disparitas yang begitu kontras. Tukin hanya mengalir kepada ASN, sementara dosen swasta harus mengandalkan sumber internal kampus yang sering kali sangat terbatas.

Banyak dosen swasta bekerja dalam kondisi penghasilan yang belum mencerminkan profesionalisme akademik. Di berbagai daerah, gaji pokok jauh dari memadai, sementara tuntutan kinerja semakin tinggi. Mereka bertahan bukan karena insentif negara, tetapi karena idealisme untuk mencerdaskan generasi muda. Inilah yang menyebabkan rasa “warga kelas dua” di tubuh pendidikan tinggi semakin menguat.

Ketimpangan ini melahirkan konsekuensi sistemik yang serius. Pertama, terjadi aliran perpindahan dosen berkualitas menuju institusi yang menawarkan paket kesejahteraan dan insentif lebih kompetitif, sehingga perguruan tinggi swasta kehilangan talenta potensial. Kedua, kualitas perguruan tinggi swasta terancam stagnan karena motivasi dosen sulit dijaga apabila dukungan kinerja tidak merata di tingkat nasional. Ketiga, kesenjangan mutu pendidikan tinggi semakin melebar, padahal pemerintah mendorong seluruh kampus di Indonesia, baik negeri maupun swasta untuk berkompetisi di arena global.

Pertanyaannya sederhana namun fundamental: bagaimana mungkin Indonesia berharap meningkatkan kualitas pendidikan tinggi bila sebagian besar dosennya tidak dianggap dalam kebijakan kesejahteraan negara? Jika pemerintah ingin memperkuat ekosistem akademik secara utuh, maka skema dukungan kinerja harus inklusif dan berbasis kontribusi, bukan status kepegawaian.

Ada banyak opsi kebijakan yang dapat diambil pemerintah tanpa harus membebani anggaran secara ekstrem. Misalnya, merancang Tunjangan Kinerja Nasional Dosen yang aksesnya terbuka bagi seluruh dosen melalui mekanisme penilaian kinerja yang objektif. Pemerintah juga dapat menggunakan dana abadi pendidikan, skema matching fund, atau insentif berbasis output riset dan publikasi untuk memastikan dosen swasta tidak tertinggal. Dengan demikian, negara hanya memberi tunjangan pada mereka yang benar-benar produktif, tanpa diskriminasi status.

Kebijakan inklusif semacam ini akan memberikan dampak jangka panjang yang signifikan: memperkecil kesenjangan mutu antara kampus, mendorong persaingan sehat, mengurangi perpindahan dosen karena alasan finansial, dan yang paling penting adalah menjamin  bahwa mayoritas mahasiswa Indonesia dididik oleh dosen yang dihargai dan difasilitasi negara.

Memberikan tukin kepada dosen swasta bukanlah bentuk kedermawanan pemerintah. Ini adalah investasi strategis bagi masa depan bangsa. Sudah saatnya negara berhenti menempatkan dosen swasta sebagai warga kelas dua. Mereka adalah pilar utama pendidikan tinggi Indonesia. Menghargai kinerja mereka berarti menghargai masa depan republik ini. (Mf)

Berita terkait