Kontroversi Gelar Pahlawan untuk Suharto: Antara Dendam dan Rasionalitas Sejarah
Opini Dr. H. Usman Lonta, Mantan Anggota DPRD Sulawesi Selatan disampaikan M. Yahya Patta
Spektroom - Saya awali tulisan ini dengan ungkapan yang sangat arif dari kampung saya “matea antu appakabaji” (kematianlah yang memperbaiki). Memperbaiki hubungan kekeluargaan, kekerabatan, dan hubungan persahabatan yang pernah tercoreng di masa lalu. Ungkapan ini kerap kali menjadi nasehat kepada orang-orang yang bermental pendendam dan tidak mau berdamai, meskipun yang bersangkutan menyaksikan, kerabatnya, keluarganya, atau bahkan saudara kandungnya dalam keadaan sakratul maut. Tradisi di kampung saya, orang yang bermental pendendam seperti ini berpotensi menjadi musuh bersama. Ungkapan inilah yang membuka perbincangan tentang kontroversi mengenai wacana penetapan Presiden Soeharto sebagai Pahlawan Nasional. Sebagian masyarakat menyambut ide itu dengan bangga, sementara sebagian lain menolak keras seolah luka sejarah belum sempat disembuhkan. Perdebatan ini sebenarnya lebih mencerminkan politik memori dan dendam masa lalu, daripada kepentingan rasional bangsa hari ini.
Padahal, jika ditinjau secara objektif dan rasional, pemberian gelar pahlawan tidak mengganggu jalannya pemerintahan, tidak menurunkan kualitas pelayanan publik, bahkan tidak mempengaruhi stabilitas politik nasional. Ia hanya simbol penghargaan sejarah terhadap sosok yang memiliki peran penting dalam perjalanan bangsa. Ironisnya, penolakan yang muncul justru menunjukkan betapa emosi politik masih lebih kuat daripada kearifan sejarah.
Soeharto adalah figur yang kompleks. Di satu sisi, ia dianggap sebagai pemimpin pembangunan, stabilisator ekonomi, dan simbol kemajuan nasional pada masanya. Namun di sisi lain, ia juga dikenang sebagai penguasa otoriter yang membatasi kebebasan berekspresi, mengekang pers, dan memupuk kekuasaan melalui praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dua sisi itu tidak dapat dihapus satu sama lain. Keduanya adalah bagian dari realitas sejarah bangsa yang harus diterima dengan bijaksana.
Menolak Soeharto hanya karena luka masa lalu tanpa mempertimbangkan jasa strategisnya bagi stabilitas negara adalah bentuk ketidakarifan politik. Sebab, sejarah tidak bisa dibaca dengan kacamata kebencian. Ia harus dipahami dengan nalar kebangsaan. Banyak negara lain mampu berdamai dengan masa lalunya tanpa menghapus catatan kelam tokohnya. Korea Selatan tetap menghormati Park Chung Hee, walau tahu ia juga seorang diktator. Singapura menyanjung Lee Kuan Yew meski kepemimpinannya keras dan penuh kontrol. Mereka belajar memisahkan antara rekam jejak manusia yang tidak sempurna dan jasa besar bagi bangsanya.
Sementara itu, di Indonesia, banyak perdebatan politik justru tersandera oleh sentimen masa lalu. Seseorang dinilai bukan karena kapasitas dan pengabdiannya, tetapi karena afiliasi sejarah atau warna politiknya. Akibatnya, kita sibuk memperdebatkan masa lampau, tapi lalai mengawasi masa depan. Seharusnya energi bangsa diarahkan untuk mengkritisi calon-calon pemimpin baru yang minim kapasitas, miskin gagasan, namun rakus kekuasaan—bukan untuk memperdebatkan penghargaan simbolik kepada tokoh yang sudah tiada.
Jika ada alasan untuk bersikap “kontra” hari ini, mestinya bukan terhadap gelar pahlawan untuk Soeharto, melainkan terhadap praktik politik yang mengulang kesalahan masa lalu, yaitu politik dinasti, penyalahgunaan jabatan, dan pembusukan moral birokrasi. Itu yang lebih nyata menghambat kemajuan bangsa, bukan sekadar pengakuan terhadap tokoh sejarah. Ibarat pengendara mobil, sejatinya kita fokus ke masa depan, dengan sesekali menengok spion. Jangan fokus ke spion, agar mobil yang namanya Indonesia ini bisa melaju kencang menggapai harapan.
Soeharto, seperti juga banyak pemimpin besar dunia, punya catatan kelam. Tetapi, menilai sejarah tidak bisa hanya dengan kacamata moral hitam-putih. Bangsa besar adalah bangsa yang mampu berdamai dengan masa lalunya, tanpa harus menafikan kebenaran atau menutupi luka. Mengakui jasa Soeharto bukan berarti melupakan penderitaan rakyat di bawah kekuasaannya. Itu berarti mengakui bahwa sejarah bangsa ini dibangun oleh berbagai tangan—baik yang bersih maupun yang berdarah.
Kini, setelah lebih dari dua dekade reformasi, sudah seharusnya bangsa ini keluar dari jebakan dendam politik. Penghargaan terhadap Soeharto semestinya dilihat dalam konteks rekonsiliasi nasional, bukan glorifikasi pribadi. Ia adalah bagian dari sejarah Indonesia yang tak bisa dihapus, suka atau tidak suka. Dan sejarah tidak membutuhkan izin dari kebencian.
Karena itu, menolak penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional semata atas dasar dendam dan kebencian adalah sikap yang yang tidak bijaksana. Kita boleh berbeda pendapat, tetapi kebijaksanaan bangsa menuntut agar perdebatan disandarkan pada logika sejarah, bukan emosi politik. Justru yang lebih berbahaya adalah ketika bangsa ini kehilangan kemampuan menilai secara objektif, menolak karena benci, menerima karena fanatik. Benarlah apa yang pernah diungkapkan oleh Buya Hamka bahwa “sayang dan benci jangan dijadikan dasar untuk menilai seseorang, karena kedua kata ini akan mengubur kebijaksanaan, menghilangkan obyektifitas dalam diri manusia.
Sudah saatnya kita bersikap bijaksana. Biarlah sejarah mencatat jasa dan kesalahan Soeharto apa adanya. Yang lebih penting, jangan sampai bangsa ini kembali dikuasai oleh mereka yang ingin menjadi “Soeharto kecil” tanpa kapasitas, tanpa integritas, dan tanpa kebesaran jiwa. Karena itu, kontra yang sejati bukan pada masa lalu, tetapi pada ketidakmampuan masa kini.
Saya tutup dengan ungkapan " lebih baik menyalakan lilin di tengah kegelapan dari pada meratapi kegelapan "
Wallahu a’lam bishshawab
Sungguminasa, 5 Nopember 2025
Catatan menjelang hari pahlawan