Lampu, Puisi, dan Tarian: Malam Seni Mahasiswa Meriahkan Dies Natalis PBSI FKIP UPR
Spektroom - Sorot lampu berwarna-warni menari di panggung, sementara lantunan puisi yang dimusikalisasi menggetarkan ruang aula FKIP Universitas Palangka Raya. Tepuk tangan penonton pecah, mengiringi tiap adegan teater dan gerakan tari kontemporer. Begitulah semarak Pagelaran Seni Mahasiswa PBSI pada perayaan Dies Natalis ke-41, Minggu malam (21/9/2025).
Malam itu, suasana kampus berubah menjadi arena perayaan seni. Mahasiswa PBSI menghadirkan pertunjukan yang tak hanya indah dipandang, tetapi juga menyentuh emosi penonton. Dari kisah sederhana dalam teater hingga tarian penuh energi, semua dikemas dengan cermat, seolah memberi pesan bahwa seni adalah bahasa yang menyatukan.
Kepala Balai Bahasa Kalteng, Sukardi Gau, yang hadir di tengah penonton, mengaku kagum dengan penampilan mahasiswa. Baginya, acara ini lebih dari sekadar hiburan.
“Mahasiswa PBSI menunjukkan kerja nyata yang berdampak positif bagi masyarakat. Mereka memiliki modal kuat untuk mengaplikasikan ilmu di luar kelas,” ujarnya.
Sukardi menambahkan, PBSI punya peran penting menjaga denyut kreativitas di kampus, bahkan mendorong tumbuhnya sanggar-sanggar seni di masyarakat. “Dengan modal sosial yang kuat, mereka bisa menjadikan Kalimantan sebagai daerah yang maju dalam berkesenian,” katanya.

Koordinator Prodi PBSI FKIP UPR, Alifiah Nurachmana, menekankan bahwa Dies Natalis kali ini menjadi momen untuk menunjukkan kapasitas mahasiswa PBSI sebagai pelaku seni yang profesional. “Kegiatan ini bukan sekadar pesta ulang tahun jurusan, melainkan ruang belajar. Mahasiswa mengasah komunikasi, kerja tim, dan keterampilan mengelola acara,” jelasnya.
Bagi para mahasiswa, pengalaman ini meninggalkan kesan mendalam. Mereka tak hanya tampil di panggung, tapi juga belajar menjadi bagian dari sebuah produksi seni yang utuh. Penonton pun larut—ada yang terharu, ada yang bersemangat, dan semuanya menikmati suasana hangat malam itu.
Pagelaran Seni Mahasiswa PBSI FKIP UPR akhirnya bukan hanya penanda usia ke-41, melainkan juga bukti bahwa pendidikan bahasa dan sastra mampu hidup dalam bentuk ekspresi nyata. Malam seni itu menjadi simbol: kampus bukan sekadar ruang belajar teori, tapi juga rumah kreativitas yang menyatukan energi muda dalam kebersamaan. (Polin.Testi)