Negara untuk siapa? Saat Satu Persen Mengambil Separuh Dari Kita

Opini Dr. H. Syamsunie Carsel HR. Dosen Fakultas Teknologi Kesehatan Universitas Megarezky Makassar, disampaikan M. Yahya Patta

Negara untuk siapa? Saat Satu Persen Mengambil Separuh Dari Kita
Dr. H. Syamsunie Carsel HR. Dosen Fakultas Teknologi Kesehatan Universitas Megarezky Makassar

Spektroom - Dalam beberapa tahun terakhir, perdebatan mengenai ketimpangan ekonomi di Indonesia semakin menguat. Bukan tanpa alasan: data berbagai lembaga riset menunjukkan bahwa segelintir kelompok—sekitar 1% penduduk dengan kekayaan tertinggi—menguasai hampir separuh akumulasi kekayaan nasional. Angka ini bukan sekadar statistik; ia adalah cermin struktur ekonomi-politik yang selama puluhan tahun membentuk siapa yang menikmati pembangunan, siapa yang bertahan hidup, dan siapa yang tersisih dari arus kemajuan. Pertanyaannya lalu menjadi sangat fundamental: “negara ini bekerja untuk siapa?”

(1) Ketimpangan sebagai masalah politik, bukan hanya ekonomi

Selama ini ketimpangan sering dipandang sebagai persoalan ekonomi belaka: kurangnya pendapatan, kurangnya pekerjaan, atau buruknya distribusi kesempatan. Padahal, pada titik ekstrem tertentu, ketimpangan adalah persoalan politik. Ketika kekayaan terkonsentrasi di puncak piramida, kekuasaan pun terkonsentrasi di tempat yang sama. Kekayaan besar bukan hanya memberi akses pada gaya hidup, tetapi juga pada pengaruh: pengaruh terhadap regulasi, kebijakan fiskal, keputusan investasi negara, hingga proses politik dan pemilihan umum.

Ketimpangan ekstrem menciptakan situasi di mana sebagian kecil elite tidak hanya menguasai kekayaan materi, tetapi juga ruang pengambilan keputusan. Negara yang seharusnya menjadi penyeimbang kepentingan publik berubah fungsi menjadi arena yang mudah dimasuki kepentingan pemilik modal besar. Pada titik inilah muncul pertanyaan yang menggugah: “Apakah negara masih bekerja sebagai institusi untuk kesejahteraan bersama, atau berubah menjadi alat yang mengamankan kepentingan ekonomi minoritas?”

(2) Akar masalah: dari sejarah hingga struktur kebijakan

Tidak mungkin memahami konsentrasi kekayaan tanpa melihat akar-akar historisnya. Proses akumulasi modal di Indonesia banyak berkelindan dengan pola kepemilikan tanah pada masa kolonial, konsesi sumber daya setelah kemerdekaan, serta hubungan erat antara kekuasaan politik dan bisnis pada berbagai rezim. Akses terhadap lahan, kredit, proteksi industri, dan proyek infrastruktur strategis—yang sering hanya dapat diakses pelaku usaha besar—menjadi faktor kunci yang mempercepat akumulasi kekayaan pada kelompok tertentu.

Selain itu, kebijakan fiskal yang cenderung lunak terhadap pemilik modal memperparah persoalan. Tarif pajak yang rendah pada dividen, banyaknya celah penghindaran pajak, hingga lemahnya penegakan aturan perpajakan menyebabkan kontribusi kekayaan besar terhadap pendapatan negara menjadi jauh dari optimal. Di sisi lain, kelas menengah dan kelompok berpenghasilan rendah justru menanggung beban terbesar melalui pajak tidak langsung seperti PPN atau tarif layanan publik yang terus naik.

Ketidaksetaraan ini lalu diperkuat oleh fenomena finansialisasi: kenaikan nilai saham, properti, dan aset lain yang dimiliki oleh kelompok kaya tumbuh jauh lebih cepat dibanding kenaikan pendapatan pekerja biasa. Akhirnya, mereka yang sudah berada di puncak makin tinggi; mereka yang di dasar piramida tetap berada di sana, atau bahkan makin tenggelam.

(3) Dampak sosial: ketika jurang melebar, kepercayaan menipis

Ketimpangan ekstrem memiliki konsekuensi yang jauh melampaui urusan ekonomi. Ia memengaruhi stabilitas sosial, dinamika politik, bahkan moralitas publik. Beberapa dampak yang kini terlihat jelas di Indonesia antara lain:

(a) Kepercayaan terhadap negara menurun. Ketika masyarakat melihat bahwa proyek-proyek besar, konsesi tambang, atau kebijakan fiskal menguntungkan pihak tertentu, rasa keadilan publik terkikis. Muncul persepsi bahwa hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Dalam situasi seperti ini, legitimasi negara sebagai pengayom menjadi dipertanyakan.

(b) Mobilitas sosial mandek. Di banyak negara dengan ketimpangan tinggi, mobilitas sosial antar-generasi melambat. Indonesia mulai menunjukkan gejala serupa: akses terhadap pendidikan berkualitas, layanan kesehatan layak, dan modal usaha semakin ditentukan oleh latar belakang ekonomi keluarga. Akibatnya, garis keras ketimpangan makin tebal dan sukar ditembus.

 (c). Ketegangan sosial meningkat. Ketika sebagian besar masyarakat merasakan stagnasi ekonomi, sementara segelintir elite hidup dalam kemewahan ekstrem, pertentangan kelas sosial mengambil bentuk baru. Media sosial memperlihatkan kesenjangan itu secara telanjang, menciptakan rasa frustrasi dan kecemburuan sosial yang tidak boleh disepelekan.

Negara Seharusnya Menjadi Penyeimbang, Bukan Penonton

Dalam sistem demokrasi, negara memiliki mandat moral dan hukum untuk memastikan redistribusi kesempatan, perlindungan terhadap kelompok lemah, serta pengaturan pasar agar tidak dikuasai monopoli. Namun fungsi ini hanya berjalan jika lembaga negara kuat, independen, dan bebas dari intervensi kepentingan ekonomi besar.

Prinsip utama yang sering dilupakan adalah bahwa “ketimpangan bukanlah takdir; ia adalah produk kebijakan.” Karena itu, kebijakan pula yang dapat membalikkan arah.

Beberapa langkah krusial yang sering diangkat oleh para ekonom, aktivis civil society, dan lembaga internasional mencakup:

(1) Reformasi perpajakan progresif: Menutup celah pajak, memperkuat pajak kekayaan dan warisan, serta mengalihkan beban pajak dari konsumsi ke kepemilikan aset besar.

(2) Transparansi kepemilikan dan penegakan anti-korupsi: meminimalkan pengaruh oligarki dalam politik dan bisnis.

(3) Investasi publik jangka panjang: Dalam pendidikan, kesehatan, riset, dan teknologi untuk membuka mobilitas sosial.

(4) Kebijakan anti monopoli: Untuk memastikan persaingan usaha yang sehat, sehingga UMKM tidak kalah sebelum bertanding.

(5) Reformasi agraria dan konsesi: Agar kepemilikan lahan dan sumber daya tidak terkonsentrasi pada kelompok kecil.

Semua kebijakan ini membutuhkan kemauan politik yang kuat, kualitas birokrasi yang baik, serta dukungan masyarakat yang percaya bahwa perubahan memang diperlukan.

Pertanyaan “Negara untuk siapa?” adalah pertanyaan yang mengguncang kesadaran kolektif. Ia memaksa kita melihat kenyataan yang sering disembunyikan di balik jargon pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan memang penting, tetapi “pertumbuhan tanpa pemerataan adalah pertumbuhan yang rapuh.” Ketika 1% menguasai separuh kekayaan, itu bukan sekadar persoalan ekonomi—itu adalah persoalan keberlanjutan bangsa.

Negara tidak boleh menjadi penonton. Ia harus hadir aktif, tegas, dan berpihak kepada kepentingan publik luas. Jika tidak, jurang ketimpangan akan menjadi tembok yang membelah bangsa ini: antara mereka yang memiliki segalanya, dan mereka yang hanya memiliki harapan.

Berita terkait

PMI Jember Kerjasama Dengan Japanese Red Cross Society (JRCS) Edukasi Masyarakat di Wilayah Rawan Bencana

PMI Jember Kerjasama Dengan Japanese Red Cross Society (JRCS) Edukasi Masyarakat di Wilayah Rawan Bencana

Spektroom - Koordinator Lapangan program PMI Jember–JRCS, Weni Catur Fitriani, menjelaskan program kerjasama dengan Japanese Red Cross Society (JRCS) fokus edukasi kepada masyarakat dan sekolah di Wilayah Rawan Bencana. Sabtu (06/12/2025). Weni Catur Fitriani menjelaskan, selain mengedukasi masyarakat dan sekolah, juga pemberian paket kesiapsiagaan, dengan pendistribusian paket

Budi Sucahyono, Julianto