Ojek Gunung Slamet, Jasa Ekstrem yang Jadi Penolong Pendaki
Spektroom – Pernahkah Anda membayangkan naik ojek dari lereng gunung, menyusuri jalan setapak di hutan dengan sisi kiri atau kanan berupa jurang dalam yang menganga? Jika belum, cobalah sensasi menegangkan sekaligus menyenangkan ini di jalur pendakian Gunung Slamet, tepatnya dari base camp Dukuh Bambangan, Desa Kutabawa, Kecamatan Karangreja, Kabupaten Purbalingga.
Di kawasan ini, ojek trail menjadi moda transportasi unik yang siap mengantar pendaki menuju Pos 1 Pondok Gembirung. Dengan medan terjal, jalan licin, penuh lumpur, dan berliku di ketinggian 1.937 mdpl, pengalaman menumpang ojek gunung akan membuat adrenalin terpacu. Ongkosnya Rp70 ribu sekali jalan, tetapi jasa ini benar-benar menjadi penolong bagi para pendaki yang ingin menghemat waktu dan tenaga.
Ketua Pos Pendakian Gunung Slamet jalur Bambangan, Syaiful Amrih, mengatakan seluruh tukang ojek yang beroperasi sudah terdaftar dalam paguyuban. Mobilitas mereka tercatat dan terpantau demi menjamin keamanan penumpang.
“Selain memiliki keterampilan memadai dalam membawa penumpang dari dan ke Posko 1, mereka juga memastikan kondisi kendaraan sehat dan aman,” ujarnya.
Meski latar belakang sebagian besar pengemudi adalah petani sayur, kemampuan mereka menaklukkan medan lereng gunung tak perlu diragukan. Rata-rata perjalanan dari base camp ke Pos 1 hanya memakan waktu 15–20 menit. Bandingkan dengan berjalan kaki yang bisa memakan waktu 2–2,5 jam menanjak.
“Lumayan jauh dan bisa menghemat tenaga pendaki,” tambah Syaiful.
Bagi pendaki pemula, sensasi naik ojek gunung Slamet benar-benar membuat jantung berdegup kencang. Agus Suharto, pendaki asal Karangpucung, Cilacap, mengaku awalnya tak membayangkan rute yang akan dilalui begitu ekstrem.
“Ini pengalaman pertama saya naik ojek gunung di ketinggian hampir 2.000 mdpl. Rasa dingin hilang berubah jadi rasa takut saat jalan mulai menanjak, sempit, licin, dan ada jurang di sisi jalan,” kata Agus.
Memasuki kawasan kebun sayur, jalan penuh lubang dan batuan tak rata. Saat masuk kawasan hutan Perhutani, jalur makin sempit, hanya selebar ban motor. Meski begitu, iring-iringan ojek gunung tetap melaju mantap dengan kecepatan sekitar 30 km/jam.
Para pengemudi ojek gunung sudah terbiasa membawa penumpang di jok belakang, sekaligus mengangkut tas carrier seberat 30–50 kilogram di depan mereka. Salah seorang pengemudi yang enggan disebut namanya, sebut saja Karjo, menuturkan bahwa dalam medan menanjak hanya ada satu pilihan: gas penuh.
“Kalau nggak gas pool, kendaraan bisa mundur, dan itu berbahaya. Jalan sengaja dibuat selebar ban, supaya motor tetap di jalurnya. Kalau keluar track, bisa jatuh ke jurang,” jelasnya.
Bagi mereka, teknik mengendalikan motor di medan ekstrem adalah naluri sekaligus keterampilan yang ditempa bertahun-tahun.
Saat turun melalui jalan terjal, kelokan tajam dan tepi jurang salah tarik rem motor bisa terbalik (Vidio : Biantoro) Bu
Bagi para pendaki, keberadaan ojek gunung jelas sangat membantu. Dengan biaya Rp70 ribu sekali jalan, jasa ini dianggap sepadan dengan tantangan medan yang penuh risiko.
Namun demikian, Rizka, pendaki asal Purwokerto, menilai perlu ada perhatian dari pemangku kebijakan.
“Mereka memang trampil, penuh tanggung jawab, dan sangat membantu pendaki. Tapi bagaimanapun, medannya berbahaya. Perlu ada jaminan asuransi kecelakaan bagi para pengemudi ojek gunung ini,” ujarnya.
Antara Adrenalin dan Rasa Syukur
Menumpang ojek gunung Slamet adalah pengalaman yang tak mudah dilupakan. Rasa takut, dingin, sekaligus lega bercampur jadi satu. Ojek gunung bukan sekadar alat transportasi, melainkan juga kisah perjuangan para petani lereng Slamet yang beradaptasi menjadi penopang wisata pendakian.
Di balik deru motor trail yang menembus kabut dan hutan, ada ketangguhan manusia yang menjadikan profesi penuh risiko ini sebagai jalan hidup. Bagi pendaki, jasa ini adalah penyelamat tenaga. Bagi pengojek, setiap tarikan gas adalah taruhan antara rezeki dan bahaya.(Biantoro/Bin).