Pelajaran dari Kalimantan Barat untuk Arsitektur Pembiayaan Iklim Indonesia
Spektroom - Bayangkan sebuah provinsi yang menjadi rumah bagi jutaan hektare hutan tropis, paru-paru dunia yang menyimpan karbon sekaligus menyuplai oksigen bagi kehidupan. Namun, di saat yang sama, provinsi ini juga menghadapi ancaman deforestasi, degradasi lahan, dan perubahan iklim yang kian nyata. Itulah realitas Kalimantan Barat, provinsi dengan luas 147 ribu kilometer persegi, populasi lebih dari 5,7 juta jiwa, dan memiliki peran strategis dalam target penurunan emisi Indonesia.
Tahun 2025 menjadi tonggak penting ketika Kalimantan Barat berhasil mengamankan hibah sebesar EUR 59,5 juta atau sekitar Rp 1 triliun dari Green Climate Fund (GCF). Hibah ini bukan sekadar angka di atas kertas. Ia adalah simbol kepercayaan internasional sekaligus ujian bagi Indonesia: apakah kita mampu mengelola dana iklim dengan efektif, inklusif, dan berkelanjutan?
Melalui pengalaman Kalimantan Barat, kita dapat memetik pelajaran berharga tentang bagaimana membangun arsitektur pembiayaan iklim di tingkat daerah, sebuah fondasi yang kini semakin relevan bagi provinsi lain, termasuk Bali yang tengah mempersiapkan inisiatif serupa.
Hibah dari GCF ini akan mengalir selama tujuh tahun (2025–2031) untuk tiga tujuan utama. Pertama, perlindungan dan rehabilitasi hutan: menekan laju deforestasi dan mengembalikan tutupan hutan yang hilang. Kedua, pemberdayaan masyarakat desa: mengintegrasikan skema perhutanan sosial dan ketahanan iklim, sehingga masyarakat bukan hanya penerima manfaat, tetapi juga aktor utama. Ketiga, penguatan sistem pemantauan karbon: melalui Monitoring, Reporting, and Verification (MRV) yang transparan dan berbasis data ilmiah.
Pendekatan ini menarik karena memadukan blended finance. Hibah internasional sebagai modal awal, didukung pendanaan pemerintah dan investasi swasta. Dengan kata lain, dana publik dan privat bersinergi untuk satu misi: mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Perjalanan Panjang Menuju Persetujuan GCF (Green Climate Fund)
Tidak ada keberhasilan yang datang tiba-tiba. Proses pengajuan hibah GCF oleh Kalimantan Barat memakan waktu hampir lima tahun. Dimulai pada 2019 dengan penyusunan Concept Note, tim provinsi melibatkan berbagai pemangku kepentingan, yakni pemerintah kabupaten, akademisi, NGO, hingga komunitas adat. Konsultasi publik dilakukan di lima kabupaten prioritas, memastikan suara masyarakat terdengar sejak awal.
Tahap berikutnya adalah feasibility study dan safeguard assessment pada 2020–2022, termasuk rencana aksi untuk masyarakat adat dan gender action plan. Full proposal difinalisasi pada 2023, mendapat rekomendasi pemerintah pusat, lalu resmi disetujui oleh Board GCF di Songdo pada 2024.
Ada empat strategi kunci terbukti efektif. Yakni, kepemimpinan politik yang kuat dari gubernur dan kementerian terkait, kolaborasi internasional dengan GIZ sebagai Accredited Entity berpengalaman, data ilmiah yang kredibel sebagai dasar perhitungan emisi dan potensi penurunan, partisipasi masyarakat yang memastikan legitimasi sosial dan keberlanjutan program. Tanpa keempat pilar ini, mustahil hibah sebesar itu bisa diakses daerah.
Memilih Wilayah, Mengutamakan Partisipasi
Dana GCF tidak turun begitu saja ke seluruh provinsi. Lima kabupaten dipilih berdasarkan kontribusi emisi dan potensi penurunan terbesar: Kapuas Hulu, Sintang, Ketapang, Sanggau, dan Kubu Raya. Lebih dari 200 desa terlibat aktif melalui mekanisme Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) atau Padiatapa (Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan). Artinya, setiap desa diberi informasi lengkap, kesempatan menimbang manfaat-risiko, dan kebebasan menyetujui atau menolak program tanpa tekanan. Partisipasi ini diterjemahkan ke dalam Village Climate Forums dan penyusunan Village Action Plans, rencana aksi iklim tingkat desa yang dibiayai langsung dari hibah. Inilah bentuk desentralisasi nyata: keputusan lokal untuk isu global.
Kaitannya dengan FOLU Net Sink 2030
Mengapa proyek ini strategis? Karena selaras dengan FOLU Net Sink 2030, strategi nasional untuk menekan emisi dari sektor kehutanan dan lahan (Forestry and Other Land Use). Kalimantan Barat menargetkan penurunan emisi 60 persen dari Business As Usual pada 2030. Melalui GCF, provinsi ini tidak hanya berkontribusi pada target nasional, tetapi juga membuka jalan bagi mekanisme result-based payment di masa depan. Pelajarannya jelas. Integrasi kebijakan daerah dan nasional mutlak diperlukan. Tanpa sinkronisasi, potensi pendanaan berbasis kinerja, baik dari pasar karbon, REDD+, maupun mekanisme internasional lain, akan sulit diakses.
Keberhasilan program tidak bisa hanya diukur dari jumlah dana yang diserap. Kalimantan Barat menetapkan indikator di tiga dimensi. Pertama, ekologi yang terdiri atas penurunan emisi CO₂eq per tahun, peningkatan luas tutupan hutan, dan rehabilitasi lahan gambut dan kawasan lindung. Kedua, sosial ekonomi, yakni peningkatan pendapatan rumah tangga desa, jumlah UMKM hijau dan rantai pasok berkelanjutan, indeks ketahanan iklim di tingkat desa. Ketiga, tata kelola berupa regulasi daerah tentang insentif REDD+ dan perhutanan sosial, serta kapasitas kelembagaan dalam perencanaan dan pemantauan iklim. Dengan indikator ini, keberhasilan dapat dipantau secara kuantitatif dan kualitatif, memastikan transparansi bagi donor, pemerintah, dan masyarakat.
Rekomendasi untuk Bali dan Daerah Lain
Bali, dengan visi rendah emisi dan kearifan lokal yang kuat, berpotensi mereplikasi kesuksesan Kalimantan Barat. Beberapa rekomendasi penting antara lain bangun Pokja REDD+ Bali yang melibatkan pemerintah daerah, akademisi, swasta, dan masyarakat adat sejak awal. Siapkan data baseline emisi dan tutupan lahan secara ilmiah untuk memperkuat Monitoring, Reporting, Verification (MRV). Gunakan pendekatan yurisdiksi agar kebijakan daerah sinkron dengan target nasional dan menarik bagi investor internasional. Libatkan masyarakat adat untuk legitimasi sosial dan perlindungan hak-hak tradisional. Diversifikasi sumber pembiayaan: tidak hanya mengandalkan hibah, tetapi juga APBD, CSR, dan pasar karbon sukarela. Jika Bali dapat mengintegrasikan lima langkah ini, peluang mendapatkan pendanaan iklim berskala besar akan semakin terbuka.
Menutup Jurang antara Krisis Iklim dan Pendanaan
Kalimantan Barat mengajarkan bahwa pendanaan iklim bukan sekadar soal uang. Ia tentang kepemimpinan politik, kolaborasi lintas pihak, data yang kredibel, dan partisipasi masyarakat. Tanpa itu semua, dana sebesar apa pun bisa menguap tanpa hasil nyata. Bali dan provinsi lain kini memiliki kesempatan untuk belajar dari pengalaman ini. Krisis iklim menuntut aksi cepat, tetapi juga terukur dan inklusif. Seperti pepatah bijak, “Jika ingin berjalan cepat, berjalanlah sendiri. Jika ingin berjalan jauh, berjalanlah bersama-sama.” Pendanaan iklim adalah perjalanan jauh. Hanya dengan melibatkan semua pihak, pemerintah, masyarakat, akademisi, swasta, dan komunitas internasional, kita bisa memastikan langkah kita menuju masa depan rendah karbon tidak terhenti di tengah jalan.**
*Penulis Gusti Nurdiansah, adalah Ketua POKJA REDD+ Kalbar 2012-2020/ Guru Besar Fahutan Untan.