Redenominasi Rupiah: Agenda Besar Merapikan Kembali Persepsi Ekonomi Nasional

Opini oleh Prof. Dr. H. Mahfud Nurnajamuddin, SE., MM, Guru Besar FEB Universitas Muslim Indonesia Makassar. Disampaikan M. Yahya Patta

Redenominasi Rupiah: Agenda Besar Merapikan Kembali Persepsi Ekonomi Nasional
Prof. Dr. H. Mahfud Nurnajamuddin, SE., MM, Guru Besar FEB UMI Makassar

Spektroom - Dorongan terbaru Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk menghidupkan kembali kebijakan redenominasi rupiah menandai upaya pemerintah memperbaiki fondasi persepsi ekonomi Indonesia. Redenominasi bukan sekadar “memangkas tiga nol”, melainkan langkah strategis untuk merapikan struktur mata uang, memperlancar transaksi, dan membangun kembali cara pandang masyarakat serta komunitas internasional terhadap kekuatan ekonomi kita.
Selama bertahun-tahun, besarnya angka nominal rupiah sering menciptakan ilusi psikologis bahwa ekonomi Indonesia rentan inflasi. Harga makanan bernilai belasan ribu atau APBN yang ditulis dalam ribuan triliun kerap menampilkan impresi yang tidak sejalan dengan kondisi makro sesungguhnya. Faktanya, dua dekade terakhir inflasi Indonesia cukup terkendali dan relatif stabil. Kondisi paradoks inilah yang menjadikan redenominasi relevan.
Pengalaman berbagai negara menunjukkan bahwa redenominasi mampu menghilangkan distorsi persepsi pasar, terutama bila diterapkan saat ekonomi stabil. Turki dan Rusia adalah contoh nyata negara yang sukses merapikan sistem nominal mereka, membuat transaksi lebih efisien dan memperkuat persepsi stabilitas moneter. Namun keberhasilan itu tidak datang begitu saja; ada prasyarat penting yang harus dipenuhi, seperti komunikasi publik yang jelas, pelaksanaan bertahap yang konsisten, dan kebijakan pendukung yang solid.
Indonesia sendiri telah memenuhi sebagian besar syarat tersebut. Tingkat inflasi terkendali, fondasi ekonomi cukup kuat, dan digitalisasi pembayaran berkembang pesat. Ini menjadi momentum yang tepat untuk kembali mendorong redenominasi sebagai agenda reformasi moneter jangka panjang, bukan sebagai kebijakan sesaat.
Tantangan utamanya justru bukan pada teknis penerapan, melainkan pada pemahaman publik. Banyak negara yang mengalami resistensi masyarakat karena kesalahpahaman, misalnya menganggap redenominasi sebagai sanering atau pemotongan nilai uang. Padahal keduanya berbeda jauh. Redenominasi tidak mengurangi daya beli; akan tetapi hanya merapikan cara kita menuliskan nilai nominal.
Karena itu, strategi komunikasi pemerintah menjadi faktor penentu. Publik perlu memahami bahwa perubahan Rp10.000 menjadi Rp10 tidak memengaruhi harga atau nilai barang, tetapi hanya menyederhanakan sistem penulisan angka agar lebih ringkas, efisien, dan sesuai praktik internasional.
Dari perspektif reputasi ekonomi, redenominasi juga memiliki makna penting. Nominal rupiah yang terlalu besar sering menimbulkan bias persepsi, seolah-olah mata uang Indonesia lemah, padahal tidak demikian. Penyederhanaan tiga nol bukan hanya urusan estetika, tetapi juga langkah memperkuat keyakinan pasar terhadap tata kelola moneter Indonesia.
Dengan kata lain, redenominasi adalah instrumen pengelolaan persepsi ekonomi, bukan semata kebijakan teknis. Di era ketika citra ekonomi menjadi bagian penting dari kekuatan negara, penyederhanaan mata uang dapat berperan sebagai alat diplomasi ekonomi yang efektif.
Purbaya Yudhi Sadewa kini membawa tongkat estafet agenda besar ini pada saat yang relatif kondusif. Jika dieksekusi dengan kehati-hatian dan komunikasi yang tepat, redenominasi berpotensi menjadi reformasi struktural yang memperbaiki sistem keuangan sekaligus meningkatkan kepercayaan publik terhadap perekonomian nasional.
Pada akhirnya, persoalan yang harus dijawab bukan lagi “perlukah redenominasi dilakukan?”, tetapi “kapan kita berani menata ulang cara kita memandang nilai uang dan stabilitas ekonomi?”. Karena redenominasi bukan sekadar perubahan angka, melainkan langkah strategis menuju persepsi ekonomi yang lebih modern, sehat, dan percaya diri.

Berita terkait