Tanah Air di Ujung Sabda

Tanah Air di Ujung Sabda

Spektroom - Delapan puluh tahun sudah kita berjalan, membawa merah putih di pundak, menyusuri sejarah penuh darah dan doa.

Si Binatang Jalang Chairil Anwar pernah berucap, Sekali berarti, sudah itu mati, tapi kini, adakah arti itu
terjebak di antara spanduk politik dan layar gawai yang tak pernah hening?

Konon, Negeri ini pernah menjadi rumah bagi sejuta harapan, masih terngiang ucapan Sapardi Djoko Damono, tapi mengapa mencintai Indonesia kini
terasa seperti berjuang di tengah riuh fitnah, di medan tempur komentar dan kabar palsu?

Kita adalah anak-anak dari tanah yang subur, namun sawah-sawah berubah jadi deretan beton, dan hutan yang dulu bernyanyi kini batuk oleh asap yang tak diundang.

Bahkan Si Burung Merak WS Rendra pun mengingatkan, Kesaksian itu seperti pohon, ia harus berbuah"
maka lihatlah buah apa yang kita panen? korupsi yang menua tanpa malu, perpecahan yang tumbuh dari benih kebencian.

Di 17 Agustus, lonceng kemerdekaan berdentang lagi, tapi suara itu mesti mengingatkan, bahwa merdeka bukan sekadar bebas bersuara,
tapi bebas dari takut akan lapar,
bebas dari cemas akan kehilangan tanah dan bahasa.

Anak-anak menari di alun-alun,
bendera berkibar di langit Agustus,
sementara kita yang dewasa wajib menjaga, agar warna merah tetap darah keberanian dan putih tetap kesucian niat.

Jangan biarkan ia memudar jadi abu, oleh amarah dan keserakahan kita sendiri.

Waspadalah, bangsa ini besar
bukan karena tembok tinggi atau senjata tajam, tapi karena semangat rakyat yang bersatu.

Kedamaian adalah perisai terakhir kita,
kerukunan adalah jembatan
yang menghubungkan masa lalu dan masa depan.

Maka di ulang tahun ke-80 ini,
marilah kita merdeka dari dendam,
merdeka dari prasangka,
dan kembali setia pada janji pertama:
hidup sebagai satu bangsa,
dalam rumah yang bernama Indonesia.(**)

Ditulis ulang oleh: Apolonius Welly

Kutipan :
WS.Rendra
Chairil Anwar
Sapardi Djoko Darmono

Berita terkait