UMP 2026, Pengusaha Ingatkan PHK, Buruh Kritisi Disparitas Upah Antardaerah
Spektroom- Tekanan inflasi, kenaikan harga kebutuhan pokok, serta ketidakpastian ekonomi global menuntut penyesuaian upah yang bersifat moderat dan terukur.
Penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026 merupakan bagian dari kebijakan pengupahan berbasis indikator ekonomi makro, seperti inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional. Pendekatan ini diambil untuk menciptakan kepastian hukum bagi pelaku usaha sekaligus memberikan perlindungan minimum bagi pekerja.
Reaksi pengusaha terhadap penetapan UMP 2026 cenderung khawatir dan menolak kenaikan yang terlalu tinggi, menganggapnya dapat menekan industri dan memicu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Ketua Umum Apindo Shinta W. Kamdani menyatakan pengupahan bukan sekadar soal kemauan membayar lebih tinggi, melainkan menyangkut kemampuan perusahaan untuk menyesuaikan biaya tanpa mengorbankan keberlangsungan usaha dan lapangan kerja formal.
"Sektor padat karya masih bergulat dengan daya beli belum pulih sepenuhnya, tingginya biaya berusaha, maraknya barang impor ilegal, hingga ketergantungan terhadap bahan baku impor." katanya, di Jakarta, Rabu (17/12/2025)
Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) sekaligus Presiden Partai Buruh Said Iqba menerima penetapan rentang alfa 0,5 hingga 0,9 pada formula UMP 2026
"Kami bisa menerima, tetapi dengan catatan yangg sungguh-sungguh. KSPI akan menyerukan dan instruksikan untuk berjuang di angka indeks tertentu 0,9. Kan boleh,” tegasnya dalam konferensi pers, di Jakarta, Rabu (17/12/2025).
Hal senada juga dikemukakan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi, menghormati keputusan pemerintah terkait dengan formula upah minimum provinsi (UMP) 2026. Meskipun demikian, pihaknya memberikan sejumlah catatan kritis, salah satunya berkaitan dengan disparitas upah antardaerah.
"Perluasan indeks tertentu dalam formula UMP menjadi 0,5–0,9 menandakan keberpihakan terhadap pekerja " ujarnya Rabu (17/12/2025).