Usulan Gerbong Area Merokok, Sangat Berbahaya dan Ngawur

Usulan Gerbong Area Merokok, Sangat Berbahaya dan Ngawur

Spektroom - Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) menilai usulan anggota DPR RI Nasim Khan agar PT KAI menyediakan gerbong khusus merokok di kereta jarak jauh sebagai salah satu ide paling ngawur dalam ruang kebijakan publik.

Dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Dirut PT KAI, Nasim berargumen bahwa gerbong rokok akan “menguntungkan” dan “bermanfaat” bagi perusahaan.

Padahal menurut Ketua IYCTC Manik Marganamahendra,
di tengah krisis kesehatan akibat rokok dan upaya panjang membangun transportasi publik yang sehat dan modern, wacana ini bukan hanya keliru, tetapi juga mengkhianati akal sehat, regulasi, serta komitmen pelayanan publik yang sudah terbukti berjalan.

Usulan gerbong khusus merokok di kereta adalah kemunduran kebijakan. Merokok di ruang publik melanggar hak dasar atas udara bersih.

"Alih-alih memberi ruang untuk merokok, pemerintah seharusnya memperkuat layanan berhenti merokok dan melindungi transportasi publik sebagai kawasan tanpa rokok.” tegas Manik Marganamahendra.

Sejak 2012, PT KAI sudah menetapkan seluruh rangkaian kereta sebagai Kawasan Tanpa Rokok (KTR), dengan sanksi tegas berupa penurunan penumpang bagi yang melanggar. Aturan ini sejalan dengan PP No. 28/2024 dan UU Kesehatan No. 17/2023, yang menyebut transportasi umum sebagai KTR.

Artinya, KAI justru menjadi pelopor transportasi sehat. Menghidupkan kembali gerbong khusus merokok adalah langkah mundur yang menghancurkan reputasi baik yang telah dibangun sejak era Bapak Ignasius Jonan, ketika reformasi KAI dijalankan dengan visi modernisasi, keselamatan, dan kenyamanan publik.

Manik menekankan bahwa kita juga harus belajar dari tragedi yang pernah terjadi. Pada 1973, pesawat Varig 820 jatuh karena puntung rokok, menewaskan 123 orang. Baru setelah itu dunia melarang rokok di penerbangan.

Tahun ini, publik Indonesia juga dikejutkan dengan kasus penumpang yang nge-vape di kabin pesawat Garuda, hingga meresahkan penumpang lain.

Kasus serupa juga kerap ditemui di peron stasiun, di mana masih banyaknya aktivitas merokok di area peron, sehingga partikulat rokok menempel di baju penumpang lain, termasuk anak-anak dan lansia, lalu terbawa masuk ke dalam gerbong.

“Membiarkan rokok di ruang transportasi umum adalah bom waktu. Sejarah sudah membuktikan bahwa tragedi bisa terjadi hanya karena puntung rokok." ingat Manik.

Dalam siaran persnya, IYCTC mengingatkan juga, Anggota DPR seharusnya belajar dari sejarah, bukan mengulang kebodohan. Kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh konsumsi rokok di Indonesia sudah sangat nyata.

Berdasarkan studi Soewarta Kosen, pada tahun 2015, kerugian ekonomi akibat rokok diperkirakan mencapai hampir Rp600 triliun, yang lebih dari empat kali lipat nilai cukai rokok yang diterima negara pada tahun yang sama. "Oleh karena itu, menambah gerbong khusus untuk merokok di kereta hanya akan menambah beban negara, bukan memberikan keuntungan.” pungkas Manik.(@Ng).

Berita terkait