Dampak Banjir : Tinjauan Analisis Ekonomi dan Keuangan

Dampak Banjir : Tinjauan Analisis Ekonomi dan Keuangan

Oleh : M. Nurnajamuddin - Guru Besar UMI Makassar

Spektroom - Banjir yang melanda berbagai wilayah Indonesia dalam beberapa bulan terakhir kembali menegaskan rapuhnya ketahanan ekonomi kita terhadap bencana hidrometeorologi.

Bukan lagi persoalan curah hujan semata, banjir kini menjelma menjadi tekanan struktural yang menggerus aktivitas ekonomi, menggoyahkan stabilitas keuangan, sekaligus membebani kemampuan fiskal pemerintah. Kerugian yang muncul bersifat luas, merata, dan berulang dari tahun ke tahun.

Pertanyaan mendasarnya : sampai kapan Indonesia membayar mahal harga ketidaksiapan menghadapi risiko ini?

Data resmi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam Laporan Bencana Indonesia 2024 mencatat 2.107 kejadian bencana, dan 1.088 di antaranya adalah banjir yang merupakan bencana paling dominan selama empat tahun berturut-turut.

Dampaknya tak main-main : lebih dari 6,3 juta jiwa terdampak atau mengungsi, dan sekitar 60.000 rumah rusak ringan hingga berat, belum termasuk kerusakan fasilitas umum dan infrastruktur dasar.

Memasuki 2025, tren ini tidak menunjukkan tanda perbaikan. Hingga Oktober 2025, BNPB mencatat 2.535 kejadian bencana, dengan banjir, cuaca ekstrem, dan tanah longsor sebagai penyebab terbesar.

Ini mempertegas bahwa Indonesia memasuki fase hyper-vulnerability terhadap perubahan iklim. Dari perspektif ekonomi riil, dampak banjir terasa sangat nyata.

Ketika rumah, pasar, gudang, hingga sentra produksi terendam, aktivitas ekonomi seketika terhenti. Dan UMKM yang menyerap 97% tenaga kerja nasional menjadi kelompok paling terpukul.

Stok barang rusak, peralatan tidak berfungsi, dan pemasukan hilang dalam hitungan hari. Banyak pelaku usaha membutuhkan waktu panjang untuk kembali bangkit karena minimnya cadangan modal dan absennya perlindungan asuransi.

Pelemahan aktivitas UMKM ini berimbas langsung pada penurunan konsumsi rumah tangga, yang merupakan pilar utama pertumbuhan PDB Indonesia.

Sektor pangan pun tidak luput dari dampak besar. Ribuan hektare sawah, kebun, dan tambak terendam banjir, menyebabkan gangguan produksi yang berujung pada kenaikan harga pangan.

Di sejumlah daerah, lonjakan harga komoditas pangan mencapai 10–30% setiap kali banjir meluas. Inflasi pangan ini berpotensi melebar menjadi inflasi umum dan menggerus daya beli masyarakat, khususnya kelompok berpendapatan rendah.

Dalam situasi ekonomi global yang masih diliputi ketidakpastian, tekanan tambahan dari inflasi pangan dapat menjadi beban berat bagi stabilitas sosial-ekonomi nasional.

Kerusakan infrastruktur yang timbul juga membawa konsekuensi jangka panjang. Jalan terputus, jembatan rusak, dan fasilitas publik lumpuh menyebabkan mobilitas barang dan jasa terganggu.

Biaya logistik meningkat, produktivitas menurun, dan pemulihan ekonomi daerah terhambat. Pemerintah daerah yang sejak awal menghadapi keterbatasan fiskal terpaksa mengalihkan anggaran pembangunan untuk penanganan darurat.

Dampaknya, proyek strategis tertunda dan kualitas pelayanan publik menurun. Siklus kerugian semacam ini terus berulang jika tidak ada langkah mitigasi yang lebih serius.

Dari perspektif keuangan negara, banjir menciptakan beban fiskal yang tidak kecil. Pemerintah harus menggelontorkan dana siap pakai untuk penanganan darurat, bantuan sosial, hingga rekonstruksi pascabencana.

Namun di sisi lain, alokasi anggaran mitigasi bencana justru masih minim. Padahal berbagai penelitian menunjukkan bahwa setiap satu rupiah investasi pada mitigasi dapat menghemat hingga tujuh rupiah biaya pemulihan pascabencana.

Ketidakseimbangan ini menunjukkan bahwa kebijakan fiskal kita masih cenderung reaktif ketimbang preventif.

Sektor keuangan nasional juga menghadapi tekanan tidak kecil. Perbankan berpotensi mengalami peningkatan risiko kredit macet, terutama dari debitur UMKM yang usahanya terhenti akibat banjir. Oleh karena itu, sejumlah langkah strategis perlu segera diambil.

Pertama, pemerintah harus memperkuat pembangunan berbasis mitigasi risiko melalui penataan ruang yang ketat, rehabilitasi daerah aliran sungai, modernisasi drainase, serta pembangunan infrastruktur hijau yang tahan cuaca ekstrem.

Kedua, sektor keuangan perlu mendorong inovasi produk asuransi bencana yang terjangkau dan mudah diakses.

Ketiga, pemerintah pusat maupun daerah harus membangun sistem pendanaan risiko bencana yang lebih kuat, termasuk skema pool asuransi dan dana cadangan bencana.

Pada akhirnya, banjir adalah ujian bagi ketahanan ekonomi dan tata kelola pembangunan Indonesia. Tanpa perubahan paradigma dari penanganan menuju pencegahan, kerugian ekonomi yang ditanggung negara dan masyarakat akan terus membesar.

Diperlukan keberanian politik, perencanaan jangka panjang, serta pemanfaatan instrumen keuangan modern agar setiap musim hujan tidak lagi menjadi musim kerugian nasional. (Mf)

Berita terkait