Penjarahan Bukan Demokrasi: Saat Hak Menyampaikan Pendapat Disalahgunakan
oleh : Dr. Sri Lestari Poernomo, SH., M.H. Dosen Fakultas Hukum - UMI dan Pasca Sarjana UMI Makassar - Dilaporkan M. Yahya Patta

Spektroom - Kebebasan berdemokrasi harus dibedakan dengan kebebasan merampas. Hukum, sosial, dan agama menolak penjarahan sebagai jalan perjuangan.
Demokrasi dan Batas Konstitusional
Hak menyampaikan pendapat di muka umum adalah pilar utama demokrasi. UUD 1945 Pasal 28E ayat (3) menegaskan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 pun memberi ruang legal bagi masyarakat untuk berdemonstrasi sebagai wujud partisipasi politik.
Namun, kebebasan tersebut bukan tanpa batas. Hukum mengatur bahwa demonstrasi harus berlangsung damai, tertib, dan tidak melanggar hak orang lain. Ketika aksi turun ke jalan bergeser menjadi penjarahan, maka ia kehilangan legitimasi konstitusionalnya. Penjarahan adalah tindak pidana: pencurian dengan pemberatan (Pasal 363 KUHP) atau perusakan (Pasal 406 KUHP), yang jelas tidak dapat dibenarkan.
Perspektif Sosial: Aspirasi atau Anarki?
Secara sosiologis, demonstrasi adalah ekspresi kolektif dari keresahan rakyat. Namun, ketika aksi berubah menjadi penjarahan, substansi aspirasi rakyat justru terkubur. Faktor pemicunya bisa beragam: kesenjangan ekonomi yang melebar, rasa frustrasi terhadap pemerintah, hingga provokasi yang memanfaatkan kerumunan.
Dalam psikologi massa, kontrol individu sering melemah. Apa yang haram dilakukan seorang individu, bisa tampak “wajar” dalam kerumunan. Inilah yang menjelaskan mengapa sebagian orang terdorong untuk merusak atau merampas saat terjadi chaos. Namun, pada akhirnya, yang paling dirugikan justru masyarakat kecil—pemilik toko, pedagang, atau pekerja—yang tidak pernah menjadi bagian dari konflik politik.
Perspektif Agama: Haram Mengambil Hak Orang Lain
Agama-agama besar menolak penjarahan dalam bentuk apa pun. Dalam Islam, prinsip amar ma’ruf nahi munkar menekankan perjuangan kebenaran dengan cara damai, bukan dengan merusak. Al-Qur’an dengan tegas melarang memakan harta orang lain dengan cara batil (QS. Al-Baqarah: 188). Nabi Muhammad SAW pun menyebut mencuri dan merusak sebagai dosa besar.
Demikian pula dalam ajaran Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha: mencuri dan merampas hak orang lain adalah bentuk pelanggaran moral. Agama menekankan perjuangan dengan jalan damai, penuh martabat, serta menghormati hak sesama manusia. Dengan kata lain, tidak ada dasar keagamaan yang dapat membenarkan penjarahan sebagai jalan perjuangan.
Menjaga Hak, Menolak Anarki
Dari sudut pandang hukum, sosial, dan agama, garis tegas sudah jelas: demonstrasi adalah hak, sedangkan penjarahan adalah pelanggaran. Kita perlu memisahkan antara keduanya agar demokrasi tidak ternoda.
Tugas pemerintah adalah menegakkan hukum secara adil, sekaligus memperhatikan akar sosial dari keresahan masyarakat. Tugas masyarakat adalah menyuarakan aspirasi secara damai, tanpa merampas hak orang lain. Dan tugas tokoh agama serta intelektual adalah mengingatkan bahwa perjuangan sejati tidak pernah lahir dari anarki.
Demokrasi yang sehat bukanlah demokrasi yang dirusak penjarahan, melainkan demokrasi yang menjunjung tinggi etika, hukum, dan nilai-nilai luhur.